Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerita Rakyat Bangka Belitung : Empusan Pohon Kemang dan Terentang

Cerita Rakyat Bangka Belitung : Empusan Pohon Kemang dan Terentang - Masyarakat Belitung pasti mengetahui sedikit banyak dengan pohon Kemang dan pohon Terentang. Kemang adalah sejenis tanaman golongan mangga. Pohon ini banyak ditemukan di dataran rendah dengan batang pohon yang besar tegak menjulang tinggi. 

Cerita Rakyat Bangka Belitung : Empusan Pohon Kemang dan Terentang

Pohon Kemang memiliki daun yang lebar seperti halnya mangga. Buah yang dihasilkan berwarna coklat kalau betul-betul matang. Buah yang matang mengeluarkan aroma khas dengan daging putih tebal dan berasa asam-asam manis. 

Buah Kemang terasa enak kalau dijadikan masakan. Tidak hanya buah yang dapat dimanfaatkan, pohon Kemang sangat bagus dibuatkan papan karena besar dan tegak menjulang. Sedangkan Terentang adalah pohon hutan serupa dengan Kemang. 

Hal yang membedakan dengan Kemang adalah pohon Terentang biasanya sering ditemukan di sekitar pinggiran sungai. Berbadan pohon tinggi menjulang, adapun buahnya namun tak bisa dimakan. Karena memiliki badan pohon yang besar, pohon ini banyak dimanfaatkan kayunya untuk bangunan. 

Ternyata dari deskripsi singkat kedua pohon tersebut tersirat suatu cerita yang misteri, yang terkandung dalam kedua pohon itu. Kemisterian ini sering diucapkan apabila kita hendak menebang salah satu di antara pohon itu. Sumpah sarapah yang diucapkan berbunyi dalam Bahasa Belitung “Ku nak nebang kau pohon Kemang, kalau nak ngepus, ngepuslah ke pohon Terentang.” 

Dan sebaliknya apabila kita hendak menebang pohon Terentang sumpah yang diucapkan kebalikan dari yang pertama, yaitu “Ku nak nebang kau pohon Terentang, kalau nak ngepus, ngepuslah ke pohon Kemang.” Apabila rapalan ini tidak dibacakan saat menebang kedua pohon ini niscaya akan terkena bala dari kedua pohon tersebut. Untuk mengetahuinya lebih jelasnya mengapa hal itu terjadi, berikut cerita yang berjudul Empusan Pohon Kemang dan Terentang.

Pada zaman dahulu, di bawah kaki gunung Selumar. Tumbuh dan berkembang dua pohon yang selalu berperakara di antara mereka. Semenjak kecil, mereka sudah tidak akur satu dengan yang lain. Padahal mereka masih dalam satu rumpun. Teman-teman pohon lainnya sering mengingatkan untuk menghentikan pertikaian itu. 

Tetapi dikarenakan sifat keduanya tidak dapat diubah, mereka tetap berselisih paham.  Apalagi habitat Kemang yang tumbuh di dataran lebih tinggi daripada Terentang yang tumbuh di dekat rawa, menjadikan Kemang berada di atas mereka. Dengan tubuh yang besar dan daun yang lebar menjadikan Kemang tampak berwibawa dan disegani oleh pohon-pohon di sekitarnya. 

Apalagi saat musim berbuah, buah Kemang sangat dinanti oleh kaum manusia yang senang dengan rasa yang unik dari buah Kemang. Dengan kelebihan itu, Kemang bersikap angkuh dan selalu mengejek pohon-pohon yang ada di bawahnya. “Terentang, apakah kau masih di bawah?” Sampai kapan kau bisa mengalahkan kehebatanku?” 

Beberapa pertanyaan itu sering diucapkan tanpa memikirkan perasaan yang akan menyakiti teman-teman pohon lain yang tumbuh di bawah kakinya. Tapi tak banyak pohon yang memasuki ke dalam hati ejekan dan hinaan pohon Kemang. Hanya pohon Terentanglah yang meladeni kesombongan pohon Kemang, sebenarnya Terentang tidak mau berselisih tegang dengan Kemang, apalagi mereka masih bersaudara. 

Terentang pun menyadari bahwa dirinya mempunyai kekurangan dibanding dengan Kemang. Tetapi Terentang mempunyai batas kesabaran yang tidak bisa dibendung lagi dan meladeni kesombongan Kemang. “Tidak sepertimu Kemang, kami di bawah ini tidak kekurangan air, tidak sepertimu,” ujar Terentang. 

Kesombongan mereka terus berlanjut sampai di hari tua mereka. Kadangkala Terentang tak dapat menahan kemarahan Kemang saat kalah berdebat. Kemang dengan sengaja merontokan daun-daunnya untuk mengotori Terentang bahkan menjatuhkan beberapa buah sehingga Terentang menjadi kesakitan. 

Terentang hanya bisa mengoceh saja karena tidak bisa berbuat apa-apa dikarenakan berada di bawah pohon Kemang. “Cukup Kemang kau sudah kelewatan!” Kemang tertawa keras. Perseteruan semakin meruncing di antara mereka. 

Padahal mereka tak menyadari bahwa perseteruan mereka menimbulkan pekara yang tidak hanya menimpa teman-teman pohon melainkan merugikan kaum manusia. Selang berapa lama, pohon Kemang dan Terentang berselisih paham. Tampak seorang wanita  sedang berkeliaran ke dalam hutan dengan membawa keranjang di punggungnya dengan penuh ranting-ranting kayu. 

Wanita itu di desa dikenal dengan nama Cik Mar. Cik Mar adalah seorang janda yang telah lama ditinggal mati suaminya saat melaut. Cik Mar tinggal dengan tiga orang anaknya yang sedang menginjak remaja. 

Kehidupan yang serba kekurangan membuat Cik Mar banting tulang menghidupi ketiga anaknya. Untunglah anak pertama dan kedua sangat perhatian kepada umaknya. Saat di hutan itu, Cik Mar bersama putra sulungnya begitu kelelahan sebab sedari tadi terus berjalan mencari ranting-ranting kayu yang patah. Tibalah mereka di sebuah dataran yang ditumbuhi seonggok pohon besar dan menjulang tinggi. 

Saat didekati, barulah mereka mengetahui bahwa pohon yang besar tinggi itu adalah pohon kemang. Mak Cik dan Sani memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon kemang. Sembari menegak air dan mengunyah rebusan singkong yang dibawa, mereka memandangi keindahan hutan di siang hari itu. 

Sesekali, mata Sani melirik-lirik ke atas dan ke bawah. “Mak, banyak sekali buahnya, itu...di sana, wah..banyak sekali yang jatuh,” segera Sani memutik buah kemang yang berserakan di atas tanah. Tak hanya itu, Sani menunjuk-nunjuk buah-buah kemang yang berjatuhan di dekat pohon terentang yang jaraknya di luar jangkauan mereka. 

“Cukup, Sani! Kita sudah banyak mengumpulkan buah kemang,” ucap Umak. Alangkah bersyukurnya hari itu, mereka banyak mendapatkan buah kemang liar yang bisa dijadikan uang untuk dibelikan kebutuhan hidup. Melihat Sani bahagia, Cik Mar berpesan untuk banyak bersyukur dan tidak berbuat serakah karena hasil yang diperoleh hari ini berasal dari kebaikan Sang Pencipta kepada keluarga kita. Mereka pun menuruni hutan Gunung Selumar dan kembali ke rumah.

Semakin jumawa Kemang menyaksikan kedua manusia itu bahagia. “Itu lihat, Terentang! Mereka sangat membutuhkan kehadiranku,” dengan sombongnya Kemang berujar. Tidak salah lagi, Terentang terlihat menjadi pohon yang tidak berguna di mata teman-teman lainnya. 

Dengan kebahagiaan yang ditampakkan Kemang, ranting-ranting yang penuh dengan buah-buah terus digoyang-goyangkan sehingga jatuh berserakan. Kemang berharap akan ada yang mengambilnya suatu hari nanti. Di desa, Sani dan adik keduanya Matra pagi-pagi betul pergi menuju pasar. 

Seberonjong penuh buah kemang dipanggul Sani. Jika keletihan, mereka bergantian mengangkat beronjong tersebut. Di dalam perjalanan, Matra menyinggung buah kemang yang diperoleh umak dan abangnya itu. 

“Banyak sekali, Bang, ya, kalau terus begini kita bisa makan enak terus,” ucap Matra. Sani menganggut-anggut  kepalanya menyatakan persetujuan. “Esok kita coba peruntungan mencari buah kemang,” sahut Sani. 

Sampailah mereka di pasar, buah kemang yang mereka bawa dari rumah digelar di antara para pedagang. Matra sang adik sibuk menjajakan dagangannya sedangkan Sani termangu memikirkan pertanyaan sang adik. Tiba-tiba, terbersit pikiran Sani untuk mencari untung yang lebih banyak. 

Melihat abangnya tersenyum sendiri, Matra mendorong tubuh Sani hingga terjatuh dari duduknya. “Bang, banyak yang lihat, malu, Bang,” bisik Matra. Sani terperanjat dari jatuhnya, lalu dia melihat dagangannya sudah habis terjual. Mereka berdua tersenyum lebar. Dari hasil penjualan kemang itu, mereka belikan kebutuhan pokok. 

Tak lupa mereka membeli ikan yang jarang sekali mereka makan seumur hidup. Begitu bahagianya mereka saat beronjong kemang berganti dengan kebutuhan pokok yang dapat dinikmati selama tiga hari itu. Dalam perjalan pulang, “Esok kita cari kemang lagi, Dik!” cetus Sani. “Hore...,” Matra kegirangan “Kita bisa kaya, Bang.” 

Sesampai di rumah, Umak kaget dan bingung, kedua anaknya itu membawa kebutuhan pokok yang berlimpah. Bingung bercampur sedih sebab muncul perubahan sikap yang ditunjukkan kedua putranya itu. Namun Cik Mar selalu berdoa buat anak-anaknya itu untuk tidak terjerat pada jalan yang sesat. 

Dengan kebahagiaan yang terselimuti, umak memasak makan lezat pada hari itu. Ani anak ketiga Cik Mar yang masih kecil begitu senang dan lahap menyantap makanan itu. Sampai akhirnya, mereka kekenyangan dan tertidur pulas. 

Di pagi yang buta, saat orang masih terlelap tidur, Sani dan Matra telah bersiap-siap hendak menuju hutan Gunung Selumar. Karena suara yang bergemerisik membuat umak terbangun dari tidurnya. Keget bukan kepalang mereka berdua, saat umaknya mendapatkan mereka hendak meninggalkan rumah. 

“Mau kemana, sepagi ini, kalian berdua?” Sani memberanikan diri memberitahukan bahwa mereka hendak pergi ke Gunung Selumar dan menjelaskan bahwa buah kemang yang jatuh di sekitar pohon terentang belum terambil. Mendengar itu, Umak pun terkejut. 

“Sudahlah Sani, urungilah mencari kemang, barang yang kalian beli juga belum habis untuk tiga hari ke depan!” “Tidak Mak, kalau ditunda nanti banyak orang yang mengetahui letak buah kemang dan kita tidak bisa hidup seperti sekarang ini,” balas Sani. “Betul, Mak,” ungkap Matra menambahkan.

Karena tidak dapat menghalangi kedua anaknya itu, Cik Mar hanya berdoa agar diberi keselamatan untuk keduanya. Kedua anak remaja itupun meniti jalan yang dipenuhi ilalang. Dengan ditemani sinar rembulan dan nyanyian serangga malam, mereka tiba di kaki Gunung Selumar. 

Dilihat oleh mereka semburat fajar menyingsing dari timur, suara aktivitas dan asap di sekitar terdengar dan terlihat di mana-mana. Kakak beradik melepas lelah karena tujuan yang mereka harapkan sudah di depan mata. Sesumbar seperti kedua pohon kemang dan terentang yang merasa bahwa mereka adalah mahluk yang hebat. 

Setelah menghabiskan bekal sarapan, mereka melanjutkan perjalanan. Kemang sangat berbunga-bunga hatinya menyaksikan kedua bersaudara itu hendak mendatangi pohonnya. Terentang pun malas mendengar ocehannya karena hampir setiap hari hanya itu yang dibicarakan.  

“Lihat Terentang, mereka datang,” sambil menggoyang-goyangkan dahannya. Kedua anak itu akhirnya sampai pada tujuannya yaitu pohon kemang. “Lihat dan ciumilah aroma yang luar biasa ini.” Dengan hati yang penuh gembira, dicicipilah buah kemang yang telah memasak itu. 

“Lihat kesana, Bang! Yang di bawah itu, penuh dengan buah kemang. Dengan gesit Matra menuruni lereng yang tak begitu curam itu, dan seketika itu, dia sudah sampai di dekat aliran sungai. Di ambil satu persatu buah kemang itu. 

Dengan asyiknya, kedua saudara itu mengambil kemang, tanpa mereka sadari bahaya mengancam jiwa mereka. Karena keserakahan kedua remaja itu, mereka sudah melukai dan menyakiti kedua pohon itu. Dahan dan akar pohon kemang dan terentang mereka patahi untuk menggapai buah yang terselip. 

Terentang dan Kemang merasa kesakitan. “Haduh..jahat...sakit,” sahut mereka. Dari rasa sakit itu, pohon kemang dan terentang ternyata memiliki semburan cairan yang kasat mata. Empusan/semburan itu merupakan senjata yang selama ini tidak diketahui Kemang dan Terentang. 

“Hus..hus...” Empusan itu mengenai kedua bersaudara tadi. Karena efek atau akibat dari empusan pohon tersebut belum terasakan, mereka tertawa keras dan berpikir hidup mereka akan berubah. “Sudah dua beronjong penuh terisi kemang, Dek, ayo kita pulang!” ujar Sani. Dengan kepulangan dua saudara laki-laki itu, menyisakan derita bagi kedua pohon tersebut. 

Kemang yang selama ini kuat dan kokoh akhirnya bersedu sedan sama halnya dengan Terentang. Tapi mereka menyadari bahwa kedua pohon ini telah meninggalkan kesakitan yang luar biasa bagi kedua saudara laki-laki itu. “Kemang apakah kamu menyadari bahwa kamu memberikan malapetaka bagi mereka,” ungkap Terentang sambil menahan rasa sakit. 

“Betul, Terentang, apakah kau menyadari juga?” balas Kemang. “Itulah balasan yang akan mereka rasakan,” ujar kedua pohon tersebut. Dengan hati yang riang, Sani dan Matra tiba di kediaman mereka saat semburat senja condong ke Barat. 

Diletakannya dua beronjong penuh isi buah kemang di dalam dapur. Melihat itu, Cik Mar menyegerakan kedua anaknya mandi di dekat arungan. Malapetaka itu akhirnya memperlihatkan wujudnya. Saat mereka membilas tubuh mereka dengan air, tampak buliran-buliran merah di seluruh tubuh mereka. 

Rasa gatal tak tertahankan. Mereka beranjak, berlari, dan berteriak meminta tolong kepada umaknya. Cik Mar hanya bisa pasra melihat kedua anaknya menderita. “Kalian, mengapa bisa begini,” dengan lirih. “Kami hanya mengambil kemang,” ucap Sani. “Jujurlah, Nak,” dengan memelas. 

“Kami tak sengaja mematahi ranting dan akar pohon kemang dan terentang,” ucap Matra. Beberapa hari berlalu, sakit itu tak kunjung mereda. Berbagai macam obat sudah dicoba bahkan mendatangi orang pintar sudah dilakukan. Daya tahan tubuh semakin menurun bahkan diperpara dengan luka lecet yang terus tergaruk karena tak tahan merasa gatal. 

Akhirnya tubuh kedua saudara tersebut tidak bisa menahan rasa sakit itu. Rasa sakit yang berkepanjangan itu menyebabkan kedua anak laki-laki yang dibanggakan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Kesedihan dan kemarahan terlihat pada raut wajah wanita paruh baya itu, dia merasa tak rela kehilangan kedua remaja yang akan menjadi tulang punggungnya kelak.  

Dengan terbakarnya api emosi dari Cik Mar, pagi itu dengan membawa Ani anak perempuan semata wayang dan parang serta kapak di kedua tangannya, mereka berangkat menuju pohon kemang dan terentang. Dengan penuh keberanian akhirnya sampailah Cik Mar di depan pohon Kemang, tiba-tiba Cik Mar mengoceh sejadi-jadinya “Kau lah ngambik kedua anak kesayanganku, sekarang Ku nak nebang kau pohon Kemang, kalau nak ngepus, ngepuslah ke pohon Terentang.” 

Ditebanglah pohon kemang tanpa letih. “Prak....” Kemang roboh. Kemudian dengan gesit, Cik Mar menuruni lereng dan ditemuilah Terentang, di situ Cik Mar mengoceh kembali, “Kau lah ngambik kedua anak kesayanganku, sekarang Ku nak nebang kau pohon Terentang, kalau nak ngepus, ngepuslah ke pohon Kemang.” 

Dengan ditebanginya kedua pohon itu, Cik Mar merasa puas dan sedih berusaha mengikhlaskan kepergian kedua anak laki-lakinya. Semenjak rapalan itu dibacakan Cik Mar, malapetaka tidak menimpa dirinya. Semua berjalan seperti biasa, Cik Mar menjalani kehidupan seperti sediakala. Rapalan tersebut sampai sekarang sering digunakan orang saat akan menebang kedua pohon itu. 

DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY)

Ku : aku, Nak  : mau, akan, Ngambik  : mengambil, Ngepus : menyembur, Nebang : menebang

Posting Komentar untuk "Cerita Rakyat Bangka Belitung : Empusan Pohon Kemang dan Terentang"