Cerita Rakyat Belitung Timur : Pucok Iding-Iding
Cerita Rakyat Belitung Timur : Pucok Iding-Iding - Tak ada habis-habisnya kalau membicarakan tempat tinggalku ini. Belitung Timur, pulau yang eksotis dengan berbagai ragam karakter, budaya, kesenian, dan bahkan kulinernya yang sudah terdengar di telinga masyarakat lokal, nusantara, bahkan masyarakat di dunia.
Beragam karakter tersebut menjadikan banyak wisatawan dari dalam negeri dan mancanegara ingin berlama-lama tinggal di Belitung Timur. Karakter, budaya, kesenian, dan kuliner daerah merupakan identitas yang tak tergantikan.
Semuanya itu merupakan warisan untuk generasi penerus sehingga tak hilang tergerus waktu. Dari warisan tersebut, tentu saja menyembunyikan kisah-kisah yang berisi pedoman hidup yang masih sejalan dengan kehidupan zaman sekarang. Salah satu kisah yang begitu menarik dari Kota Manggar, yaitu kisah seorang anak perempuan miskin yang terasingkan hingga menjadi perempuan yang berguna.
Secuil kisah tadi pasti membuat kalian menjadi penasaran dan ingin mengetahui jalannya cerita. Untuk tidak berlama-lama, simak dan bacalah kisah yang berjudul “Pucuk Iding-Iding” berikut ini. Dikisahkan saat ratusan tahun yang lalu, (sebelum Kota Manggar berkembang maju seperti sekarang ini), daerah Manggar begitu lekat dengan adat istiadatnya.
Hal itu dikarenakan daerah ini belum dipengaruhi atau terjadi percampuran peradaban baru. Hidup masyarakat masih beketergantungan dengan alam. Mereka beranggapan bahwa semua yang ada di bumi ini pasti ada yang menciptakan dan harus dipelihara pula.
Kicau burung pagi itu menandakan aktivitas masyarakat mulai bergerak. Mereka sebagian besar berladang dan sebagian kecil bermata pencarian berburu dan nelayan. Namun begitu semua dimudahkan karena alam menyediakan semuanya.
Keheningan pagi itu terusik oleh teriakan seseorang. Dari kejauhan, Ujang berteriak-teriak memanggil Kulup yang sedang sibuk memanen padi majikannya, Datuk Karnaen. “Lup…Lup…isterimu melahirkan, pulanglah.” Karena jaraknya jauh, Kulup tak menghiraukan teriakan Ujang dan melanjutkan pekerjaannya.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, Ujang begitu kesal kepada teman akrabnya itu. “Lup Isterimu akan melahirkan,” ketus Ujang. Bukannya merasa bahagia, dia hanya terdiam bagai seonggok pohon tak berdaun, tatapannya kosong, tak sengaja buliran air menetes. Ujang yang melihat kesedihan temannya itu kemudian menepuk pundak Kulup.
Kulup merasa tersentak dan mengusap tetesan air matanya tersebut. “Pulanglah Lup, lupakan dulu kerisauanmu,” nasihat Ujang. “Baiklah,” ucap Kulup. Di depan rumah yang sangat sederhana itu, tinggallah Kulup seorang diri. Tergambar dari raut wajahnya yang penuh dihantui rasa ketakutan, apalagi, dia menyaksikan suasana sunyi di sekitar rumahnya.
Hanya suara kodok yang mengacaukan kegalauannya karena merayakan turunnya hujan selama satu minggu. Padahal hari itu, istrinya melahirkan dan tentu saja pasti terdengar suara tangisan bayi. Dengan perasaan yang penuh kekhawatiran, Kulup akhirnya membesarkan langkah dan mendekati gubuknya itu.
Dibukanya bilik pintu yang terbuat dari bambu dengan perlahan, karena kecilnya rumah mereka, sehingga kamar tidur dan ruangan tamu tak bersekat. Melihat bayangan seseorang yang mengendap-endap, dari dalam terdengar suara Nina, isteri Kulup, “Masuklah Pak.” Mendengar suara isterinya itu, Kulup langsung duduk bersimpu di depan keduanya.
Senyum kecil tampak tertahan dari raut wajah yang susah. Muncul keraguan dalam benak sang bapak untuk bisa merawat anaknya dalam kondisi serba kekurangan. Suasana kalut dari benak sang bapak akhirnya terkaburkan dengan suara tangisan bayi yang sedari tadi tidak terdengar.
Bayi itu layaknya mengetahui keadaan bapaknya yang sedang memikirkan hidup dirinya. “Pak, ambilkan air, anak kita haus,” bisik isterinya. Sebab Nina tidak bisa menyapih anaknya susu dikarenakan asupan makan suami isteri tersebut tidaklah memadai. Mereka berdua tak mengira bahwa dengan minum air putih saja anak mereka sudah tertidur pulas.
Yang membuat mereka heran adalah bau wangi yang keluar dari tubuh anaknya itu. Mereka berdua hanya bisa memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa untuk bisa menjaga dan memelihara buah hati mereka itu. Tak terkira pagi berganti malam, Suami isteri tersebut terbuai dengan perbincangan yang tak hentinya.
Dan pada akhir dari obrolan panjang itu memunculkan suatu keputusan besar yang diambil yaitu pemberian terhadap nama anak mereka. “Ume,” terlintas nama tersebut begitu sederhana. Nama yang tidak mempunyai arti yang istimewa. Tetapi nama tersebut mengandung harapan bagi keduanya.
Siang berganti malam, bulan berganti tahun. Ume telah menjadi seorang dayang yang cantik. Walaupun masih anak-anak, dia suka sekali membantu orang tuanya di ladang majikan dimana tempat mereka bekerja. Tak ada kata keluhan keluar dari mulutnya yang mungil.
Perilaku lembut ditebarkan kepada siapa saja yang ditemuinya, walau ada beberapa anak seumurannya yang setiap kali mengejeknya, terutama anak majikan yang bernama Wan Adi. Wan Adi merupakan putera sulung Datuk Karnaen, dia lahir pada hari yang sama dengan Ume. Sedari lahir, dia selalu mendapatkan kasih sayang yang luar biasa dari orang tuanya.
Sehingga pada saat tumbuh menjadi anak remaja, dia mempunyai perilaku sewenang-wenang kepada anak-anak seumurannya. Tak luput dari ketamakan sifat Wan Adi adalah Ume. Karena Ume bekerja membantu orang tuanya di ladang Datuk Karnaen, mau tak mau mereka sering bertemu. Sehingga Ume sering mendapatkan ejekan dengan kata-kata yang menyayat hati dari Wan Adi.
Pernah suatu ketika muncul suatu keajaiban yang tidak bisa dibayangkan oleh akal sehat manusia. Sewaktu hujatan dari anak majikan, “Hey.. buruk rupa, sudah berapa lama tak mandi, kami di sini tak tahan akan baumu itu,” ejek Wan Adi dan temannya. Seiring dengan hinaan tersebut, berhembus semilir angin sepoi-sepoi dengan membawa bau harum yang tak pernah tercium oleh orang-orang di kampung itu.
Dengan wajah pucat, Wan Adi dan beberapa temannya berusaha mencari sumber harum tersebut. Sampai akhirnya, mata mereka tertuju kepada Ume. “Mana mungkin tubuh yang dekil mengeluarkan harum mewangi,” sahut Wan Adi kepada teman-temannya. Dengan perasaan yang takut, Ume berusaha menyembunyikan rahasianya dari Wan Adi, karena Wan Adi sudah berada di hadapannya.
Wan Hadi dengan penuh amarah dan kebencian segera menarik baju lusuh yang melekat pada tubuh Ume sampai robek. Padahal baju yang dikenakan Ume itu adalah pakaian satu-satunya dan tak ada gantinya. Pakaian itu dikenakan untuk menjaga kesopanan dan melindungi dirinya dari hinaan seperti yang dia dapatkan setiap hari.
Sumber harum itu pun tak tercium oleh Wan Adi. “Haha…” teman-teman Wan Adi terpingkal-pingkal melihat perilakunya tersebut begitu lucu. Dengan merasa kecewa Wan Adi mendorong Ume hingga terjatuh. Setiap hinaan yang ditujukan padanya, Ume hanya membalas dengan senyuman, apalagi kepada juragannya.
Karena dia khawatir Datuk Karnaen akan mencelakai kedua orang tuanya. Dari sikap yang ditunjukkan Ume itu, orang tuanya semakin menyayanginya dengan segenap jiwa. Akhirnya Wan Adi kembali kepada teman-temannya. Saat mereka jauh meninggalkan Ume, bau harum itu tak hilang dari penciuman mereka.
Sehingga mereka merasa ketakutan dan saling mencurigai. Mereka saling mengendus dan mendapatkan bahwa sumber itu berasal dari tubuh Wan Adi. Semuanya kaget bahkan Wan Adi sendiri. Dia merasa tak memakai harum-haruman itu. Dengan perintah Wan Adi, mereka terjun ke arungan untuk membersih bau harum tersebut.
Peristiwa itu akhirnya tak luput dari perhatian orang tua Ume. Dengan berat hati, Kulup melarang anaknya membantu mereka berdua di ladang. Keseharian hidup Ume dihabiskan di rumah, memberesi rumah. Dengan seringnya Ume berada di rumah, menyebabkan Ume tidak mempunyai teman bahkan dia tidak mengetahui keadaan dan perubahan yang terjadi di kampungnya.
Kalaupun mengetahui, dia peroleh dari obrolan orang tuanya. Pada suatu ketika, Ume tanpa sengaja mendengar percakapan seru antara orang tuanya dengan tetangga yang sengaja berkunjung ke rumahnya. Dari percakapan itu, tersiar kabar bahwa kampung tempat mereka tinggal mengalami bencana yang luar biasa.
Peristiwa ini merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah terjadi di kampung mereka. Sehingga mereka belum siap menerima dan menangkalnya. Bencana itu berupa penyakit yang menyerang manusia berupa bintik-bintik pada kulit yang menimbulkan rasa gatal apabila bintik-bintik berisi cairan itu pecah dengan cepat menyebar ke kulit.
Yang menjadi miris pada peristiwa itu banyak korban berjatuhan terutama dari kalangan anak-anak. Untuk mencegah penyebaran itu banyak anak-anak diusir dari perkampungan.Tiba-tiba “Praak” suara pintu dibuka oleh Umak.
Melihat Ume tepat berada di depan pintu, wajah umak terlihat gusar kalau-kalau anak-anaknya tak luput dari pengusiran. Dipeluknya Ume dengan penuh sayang sambil berbisik “Begitu berat hidupmu Nak,” tak dinyana keduanya mengucurkan air mata kesedihan. Dengan bersedih Umak menceritakan kepada anaknya “Suatu hari nanti, Kami khawatir akan terjadi padamu kelak.” “Warga akan mengusirmu suatu saat nanti.”
Dengan keteguhan hati, Ume berusaha menguatkan hati Umaknya, “Ume akan baik-baik saja.” Dengan terbenamnya sang surya, berakhir pula perbincangan sedih antara orang tua dan anak tersayang. Tapi apa daya, Ume yang masih memiliki sifat anak-anak memiliki perubahan sikap dengan cepat.
Kekuatan hati Ume di depan kedua orang tua tersebut luntur saat terdengar langkah dari beberapa orang yang menyisir di dekat kediaman mereka. Deruan langkah yang tadi bergemuruh tiba-tiba senyap. Sayup-sayup terdengar orang-orang berbisik dan kemudian dikejutkan dengan teriakan seseorang yang tak asing di telinga orang tuanya.
“Kulup….Lup keluarlah, serahkan anakmu kepada Kami.” Dengan perasaan takut, Kulup terpaksa membuka pintu rumahnya. Cahaya obor yang dibawa rombongan orang itu menyilaukan mata Kulup. Tanpa panjang lebar dan berbicara, mereka memaksa masuk rumah Kulup.
Kulup terjatuh tak berdaya saat dilabrak orang suruan Datuk Karnaen termasuk sahabatnya Ujang. “Jangan ambil anakku,” teriak Umak Ume di dalam rumah sambil menangis tersedu-sedu. “Umak…Bapak…tolong,” Ume teriak meminta tolong.
Tapi apa daya, mereka begitu banyak seraya menyeret Ume dan mendorong memisahkan Kulup dan Nina dengan anaknya. Rintikan hujan dan suara nyanyian katak menjadi saksi bisu perpisahan Ume dengan kedua orang tuanya. Lama kelamaan teriakan Ume lenyap dalam kegelapan malam.
Sejak peristiwa malam itu, Orang tua Ume tak bisa begitu saja melupakan perpisahan dengan anak tersayangnya itu, hanya doa kepada Yang Maha Kuasa mengiringi dan menyelimuti keperihan hati kedua orang tua tersebut agar Ume selamat dan bisa menjaga diri. Mau tak mau hidup harus terus dilanjutkan karena waktu terus berjalan.
Tak terasa hari berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun berganti masa. Kabar yang diharapkan orang tua Ume dan orang tua yang anaknya diasingkan tak kunjung ada. Entah dimana mereka membuang anak-anak tak berdosa itu? Apakah jauh dari perkampungan?
Banyak orang tua berusaha mencari anak mereka, tetapi tak pernah bertemu. Banyak dari mereka mulai berputus asa sehingga enggan mencari dan berusaha menemukan anak mereka. Sebab walaupun mereka sudah dibuang, pandemi tak kunjung hilang bahkan anak-anak orang yang terpandang pun tak luput dari penyakit ini.
Oleh karena mereka banyak memiliki harta dan kuasa, orang-orang kampung tak berani mencampurinya. Salah satu anak orang kaya itu adalah Wan Adi. Dia pun tak luput dari penyakit ini. Wan Adi hanya diasingkan di ruangan rahasia milik keluarga. Dia sangat terurus dan tidak kekurangan suatu apapun.
Di tempat yang berbeda, tampak asap putih mengepul di angkasa diiringi harum masakan yang menyeruak di sekitar hutan yang tak berpenghuni. Sesosok perempuan dengan rambut yang terurai sepanjang pinggang sedang sibuk di depan perapian.
Dalam kesibukannya itu, dari mulutnya secara samar-samar terlantun suara merdu yang membuat penghuni hutan terpesona dan bahkan mereka seperti ikut menari menikmati suara dari sesosok perempuan yang cantik jelita. Seekor Murai berceloteh “Kalo seperti ini terus, tidak adalagi yang mempedulikan kicauan kami, Ume, Haha…,” sambil tertawa. “Semua sudah ditakdirkan Sang Pencipta, Murai, suaramu untuk kaummu, suaraku untuk kaumku dan untuk siapa saja yang menikmati,” seloroh Ume sambil tersenyum.
Tapi di balik senyum Ume sebenarnya tersimpan hati yang luka. Dengan bercengkrama bersama teman-teman di hutan, mengikis sedikit kesepian di hati Ume. Mereka tempat bersandar dikala Ume bersedih dan rapuh mengingat kedua orang tuanya.
Namun, semua itu sementara. Di saat sore menjelang, mereka kembali ke sarang mereka. Meninggalkan Ume sendiri dalam ketakutan. Ketakutan yang tak pernah berlari meninggalkannya.
Untuk menghilangkan rasa takutnya, Ume jarang tidur dan terus terjaga di waktu malam. Ume tak mau peristiwa itu terulang. Peristiwa malam yang mencekam saat Ume terpisah paksa dari kedua orang tuanya dan sampai Ume terhanyut dalam arus sungai yang deras.
Ume merasa hari itu adalah hari terakhir dia melihat orang tuanya dan dunia. Di saat tubuh tak bisa menerima rangsangan, kekuatan sudah meredup, sekilas dengan mata yang memburam dalam gelapnya malam, Ume melihat sesosok mahluk berenang dengan kecepatan maksimal menyelamatkannya dalam kematian. Ume telah bersandar pada tempurung yang besar dan tak lama Ume pingsan tak bergerak.
Malam itu, Ume tak terlelap. Sehingga paginya, teman-temannya tidak mendapatkan kebiasaan yang dilakukan Ume. Murai, Pelanduk, Landak, bahkan serangga hutan sangat mengkhawatirkannya. “Murai coba kau terbang dan singgah di pondok Ume,” sahut Landak.
Kancil yang larinya kencang berusaha mengelilingi pondok Ume dan mencari celah apa yang sebenarnya terjadi. Serangga pun tak tinggal diam, walau jalannya lambat mereka dengan mudah memasuki pondok Ume. Benar saja, mereka mendapatkan Ume terkulai tak berdaya.
Tak sengaja mereka melihat tubuh Ume ditumbuhi bintik-bintik merah yang berair. Dengan perasaan yang begitu perihatin kepada Ume, teman-teman yang sedari tadi berada di pondok Ume melakukan Musyawarah. “Kancil, larimu kencang segera beritahu teman-teman yang lain untuk membawa sesuatu buat Ume dan saya sendiri akan memberitahu lewat udara,” sahut Murai. Tanpa komando, yang lainnya ikut bergegas mencari pertolongan.
Dalam waktu yang tak begitu lama, berbagai macam makanan mulai dari umbi-umbian, buah-buahan, dan sayuran sudah berada di depan pintu. Mendengar suara bisikan para teman-temannya itu, Ume siuman dan berusaha bangkit, saat matanya terbuka secara perlahan, didapatkannya teman-temannya sudah berada di sekelilingnya. “Kalian…terimaksih.” Ucap Ume.
Murai segera mendekati Ume dan memberikan buah lam-lam yang berwarna merah dan isinya putih lembut walau sedikit manis. Landak sudah mempersiapkan Umbi dan semut menyiapkan air. Sedangkan Kancil menyerahkan dedaunan yang didapatkan bersama teman-temannya.
Melihat kancil membawa dedaunan, mata Ume tertuju pada daun yang memiliki ruas daun berwarna merah kecoklatan. “Kancil bolehkah saya meminta daun itu,”ucap Ume. Kancil bingung sebab banyak daun yang dia bawa. “Daun ini, yang ini, atau ini,” jawab kancil.
Ume pun tersenyum dan kemudian dia melangkah secara perlahan-lahan. Akhirnya, Ume mendapatkan daun tersebut. Teman-teman merasa bahagia melihat Ume tersenyum. Pikiran Ume seperti menerawang jauh entah kemana, matanya seperti tersesat ke masa lalu.
Jiwa yang perih terasa terkumpul menguatkan hati. Tak terkira air mata menetes dari pelupuk mata yang layu. “Iding-iding, kapan kita bisa makan bersama, Umak,” suara terbata-bata keluar dari Ume.
Suasana kembali normal, Ume memasak iding-iding dengan merebusnya bersama umbi-umbian. Mereka pun menyantap makanan tersebut bersama-sama. Senyum dan tawa mengiringi makan mereka. Tanpa disadari murai terperangah melihat Ume kembali bercahaya dan segar wajahnya padahal sedari tadi Ume sangat lemah dan pucat.
Dan garukan pada badan serta angota tubuh lainya sangat jarang terlihat. “Ssst…kalian apa melihat perubahan yang terjadi pada Ume,” bisik Murai kepada teman-temannya. Karena tak menyadari landak berujar, “Tidak ada yang berbeda Rai.” “Mungkin matamu tersilap, melihat Ume bahagia,” Semut terkekeh.
“Bisa jadi Murai benar, sebab sedari tadi Ume kembali bersemangat,” sahut Kancil. Bersama orang tuanya. Karena penasaran, Murai pun berseloroh seperti Murai yang dulu suka berceloteh, “Ume, kamu sudah sehat kelihatannya.” “Hmm…,” Ume hanya bisa mendesah saja.
“Apakah kamu tak merasakan, Ume?” ujar Murai mencari tahu. Apa yang menjadi rasa keingintahuan teman-temannya menjadikan Ume mencari perubahan yang terjadi pada dirinya.
Dirabanya seluruh tubuh dan tanpa disadari Ume dilepaskan kain yang selama ini melindunginya tubuhnya. Dan seketika itu, menyeruak bau harum badanya yang selama ini disembunyikan. Teman-teman tampak terperangah mencium bau harum dari tubuh Ume. “Ume, apa yang terjadi mangapa bisa seharum ini,” jawab kancil yang mempunyai penciuman tajam.
Ume tak menghiraukannya, dia memperhatikan bintik-bintik yang tumbuh pada tubuhnya tiba-tiba menghitam dan rasa gatal yang tadinya seperti akan membunuhnya sedikit berkurang.“Teman-teman lihatlah, akhirnya penyakit ini bisa disembuhkan,” sorak Ume. Teman-temannya bingung melihat tingkah laku Ume.
Ume pun kembali mengingat masa-masa suram yang dialaminya. Banyak anak-anak menjadi korban karena penyakit ini. Dengan waktu yang begitu lama Sang Pengasih berikan kepada Ume, dia pun sangat bersyukur mempunyai ketahanan tubuh yang kuat yang terlatih sejak kecil.
Padahal manusia seumurannya akan sulit bertahan lama, jika terkena penyakit ini. Ume pun diam-diam menyelidiki perubahan yang terjadi pada dirinya. Tak perlu waktu yang lama, dia menemukan penyebab kesembuhannya itu.
Saat makan bersama-sama tadi, Ume hanya memakan rebusan daun iding-iding. “Saya mengerti sekarang, teman-teman,” ucap Ume. “Iding-iding yang telah membuatku sehat kembali, ucap Ume dengan semangat. Ume merasa bersyukur kepada Sang Pencipta dan teman-teman kecilnya yang senantiasa mambantunya.
Tak disangka semburat raja siang di ufuk barat. Teman-teman kecil Ume berpamitan kembali pulang ke rumahnya masing-masing. “Ume sampai ketemu esok hari ya, kami senang kamu sudah sehat,” sahut Murai mewakili teman-temannya. Ume menyambut lepas teman-temannya dengan senyuman. Karena terlena atas kesembuhannya, tanpa disadari, Ume tertidur di saat malam yang menakutkan itu.
Karena sudah lama tak tidur nyenyak, saat Ume mendapatkan pagi dan terbangun dari tidurnya itu tubuhnya terasa segar dan bersemangat. Dengan bergegas, Ume masuk ke hutan mencari daun iding-iding. Setiap hari, dia mengumpulkan daun iding-iding untuk ia konsumsi.
Selain direbus, daun tersebut dia tumbuk dan kemudian dia balur ke seluruh tubuh yang masih terlihat bintik-bintik. Semua itu, dia lakukan setiap hari. Sampai akhirnya, Ume mengalami kesembuhan seperti sediakala. Rasa bahagianya itu, dia lampiaskan dengan terjun ke sungai, karena selama ini Ume tertekan batinnya apabila melihat sungai.
Tak terasa bersama teman-temannya telah begitu lama berendam di sungai yang airnya jernih itu. Karena terlalu bersemangat, Ume terpeleset dan kepalanya terbentur batu hingga membuatnya pingsan. Panggilan teman-temannya pun tak terdengar. Saat pingsannya itu, Ume seperti terbang dan melihat tubuhnya yang tergolek kaku dan di kelilingi teman-teman kecilnya.
Ada rasa yang berat untuk kembali kepada tubuhnya itu. Tiba-tiba angin kencang mendesir dan menggulung ruhnya sampai pada suatu tempat. Pada tempat pertama, Ume melihat banyak anak-anak bersedih, menangis dan itu hanya anak-anak tak ada orang tua yang mendampingi.
Kemudian angin menggulungnya lagi dan berhenti pada suatu tempat. Tempat yang taka sing baginya, yaitu kampung halaman. Banyak yang sudah berubah pada kampungnya itu. Terbersit matanya pada dua sosok tua yang sedang bermunajat kepada Maha Kuasa.
Tak lain tak bukan orang tuanya. “Bapak-Umak…ini Ume,” teriak Ume. Angin kemudian menggulungnya pada suatu tempat yang begitu nyaman. Ume pun melupakan pertemuan dengan orang tuanya. Ume melihat dirinya begitu banyak disambut orang banyak.
Baru saja menikmati petualangan yang membahagiakan, Ume kembali digulung angin yang membawanya pada suatu tempat yang sunyi. “Apakah saya sudah meninggal,” bisik Ume dengan terisak-isak. Isakannya terusik dengan munculnya suara terkekeh “Selamat datang anakku,”ucap sesosok yang belum menunjukkan batang hidungnya.
Ume terkejut akan suara itu dan berusaha mencari sumber suara tersebut. Karena minimnya cahaya, Ume tak menemukan sosok itu. “Mengapa saya berada di sini, saya belum mau mati, tolong kembalikan saya” ucap Ume. “Kkkk…,anakku, kau belum mati, jangan khawatir, ucapnya sambil bergerak ingin menampakkan diri.
“Berhenti di sana,” sahut Ume saat sesosok benda yang seakan menuju dirinya. “Jangan takut anakku, ini aku,” ucap sosok tersebut. Tak lama mengobrol, tiba-tiba mahluk itu sudah dihadapan Ume. Ume pun terkejut bukan main, “Kamu..” “Betul, sudah lama kita tak jumpa setelah peristiwa itu,” ujar sesosok yang ternyata kura-kura berukuran besar yang berumur ratusan tahun.
“Terimakasih anda sudah menyelamatkan saya,”ucap Ume. “Ume sekarang kau sudah beranjak dewasa, semua pelajaran dan pengalaman hidupmu sudah tertempa, bahagiakan mereka, orang tua, saudara, teman, dan manusia seutuhnya.
Jauhkan sikap iri, dengki, dendam. Hiduplah yang bahagia lihatlah ke depan, sembuhkan jiwa yang perih dan kurangi beban mereka dari keterasingan, itulah pesan kakek, sudah saatnya kau meninggalkan hidupmu yang sekarang, pergilah, pergilah, jangan kembali lagi,” kakek kura-kura berpesan. Mengakhiri obrolan itu, angin kemudian menggulung ruh Ume kembali kepada tubuhnya. Teman-teman kecilnya begitu bahagia melihat Ume siuman kembali.
Saat di pondok, Ume pun memikirkan pesan yang disampaikan kakek kura-kura. Ume pun pada keputusannya dengan penuh percaya diri. Dan akhirnya terlelap dengan penuh senyum bahagia. Pada keesokan pagi yang masih buta, Ume mempersiapkan bekal untuk perjalanan jauh.
Semut kecil yang berdiam di pondoknya terheran-heran melihat Ume sepagi buta sudah sibuk. “Ume, ada apa sesibuk ini,” ujar semut. Ume merasa bersalah bahwa putusannya meninggalkan hutan tanpa sepengetahuan teman-teman kecilnya.
“Wahai teman, begitu bahagianya berteman dengan kalian, suka duka sudahku rasakan dengan kalian, Aku sangat berterimakasih kepada kalian yang sudah mengisi kesepianku, tapi karena pesan dan nasihat yang kuterima dari seorang kakek untuk melanjutkan hidup yang bermakna, untuk itu ijinkan Aku…, saatnya Aku menemukan jalan hidupku, semoga kita kelak dapat bertemu lagi,” ucap Ume dengan penuh sedih kepada semut. Ayam hutan mengobarkan kokokannya, menyeruak sinar fajar mengetuk pondok Ume. Saat pintu pondok terbuka, ternyata pesan yang disampaikan telah tersebar.
Semua teman kecil berkumpul dengan penuh sedih menyambut Ume yang hendak meninggalkan mereka. Tekad Ume telah bulat, pagi itu begitu banyak menguraikan air mata. Pertama yang dilakukan Ume adalah menemukan air karena air adalah sumber kehidupan. Tibalah Ume pada sebuah sungai, Ume memperhatikan daerah sekelilingnya.
Dicarilah arus sungai mengalir, dari arah aliran, Ume menemukan arah hulu yang saat itu telah menghanyutkannya. Tiba-tiba, Murai memberi petunjuk dan kemudian mendarat di bahu Ume. “Saya tak sanggup, kau tinggalkan Ume, biarlah saya menjadi teman dalam perjalananmu,” Murai berkata. Ume hanya mengangguk dan bahagia.
Akhirnya berjalanlah mereka menuju hulu. Berhari-hari dilakukan tanpa putus asa. Dan pada akhirnya, “Ume, lihatlah ada pondok, sahut Murai. Dengan mempercepat langkah, Ume sampai di depan pondok tersebut.
Tidak banyak aktifitas di sana. Setelah lama mengamati, suasana tampak suram, ternyata tidak hanya satu pondok, melainkan lebih banyak dari apa yang dibayangkan. Diketuklah pintu pondok yang terdekat, saat dibuka banyak anak-anak terbaring tak berdaya.
Ume pun mendekati dan memeriksa mereka. Alangkah terkejut Ume, mimpi yang menyenangkan salah satunya adalah dimaksudkan untuk mengurangi beban anak-anak yang diasingkan dari dunianya. Dengan cekatan dan tak mengingat lelah, “Murai tolong temukan lokasi daun iding-iding,”Ume meminta bantuan temannya.
Murai melesat dan tak seberapa jauh, dia sudah kembali. “Terimakasih,” ucap Ume. Bergegaslah Ume pergi ke lokasi yang ditunjuk Murai. Ternyata obat yang dibutuhkan banyak tumbuh di sekitar pondok mereka. Karena suasana berubah menjadi ramai, seorang anak seumuran Ume bernama Sori keluar dari peraduannya.
“Apa yang sedang Kau kerjakan, siapakah kamu?” Ume tak menghiraukan ucapan Sori, “Kalau tenagamu masih ada, jangan hanya berdiam saja, tolong ambilkan ranting kayu!” sahut Ume. Mendengar perintah dari orang yang tak dikenal, membuat Sori jengkel, tetapi Sori ingin mengetahui lebih banyak mengenai sosok perempuan tersebut.
Sebenarnya Sori adalah anak seorang penguasa desa (masih berada kota manggar) yang juga mengalami pandemi cacar. Oleh karenanya, dia tak segan-segan memerintah anak-anak yang ada di sana untuk mengambil ranting. Ranting-ranting terkumpul, membuat Ume dapat dengan cepat menyelesaikan merebus daun iding-iding.
“Makan dan minumlah rebusan daun ini, mudah-mudahan kalian akan kembali seperti sediakala,”ungkap Ume. Betapa senangnya hati Ume, melihat masakannya dimakan oleh seluruh penghuni pondokan. Sebagai obat luarnya, Ume telah mempersiapkan untuk dibagi kepada mereka.
Apa yang diperintahkan Ume, mereka lakukan dengan segenap hati. Berminggu-minggu, Ume lakukan tanpa mengharap jasa. Dan pada minggu ketiga, saat orang tua Sori yang bernama Datuk Baha tak kuasa kalau tak melihat anaknya.
Datuk Baha heran bukan kepalang sebab lingkungan sekitar pondok yang terlihat suram berubah menjadi ramai dan penuh tawa. “Sori…Sori, bapak datang nak,” Datuk Baha berteriak tanpa mendekati pondok. “Bapak…Sori datang,” Sori membalas. Pengawal datuk langsung memberi syarat supaya Sori menjauh.
“Jangan Takut Bapak, Saya sudah baikan,”ujar Sori dengan penuh semangat. Secara berhati-hati, Datuk Baha mendekati anaknya. Mulai dari ujung kaki sampai kepala, Datuk Baha melihat keadaan anaknya.
Betapa sumeringahnya raut wajah sang bapak mendapatkan anaknya kembali sehat. “Benar Bapak, semua anak-anak yang ada di sini sudah mengalami kemajuan,”ujar Sori dengan perasaan menggebu. Sang Bapak bertanya, “Bagaimana kalian bisa kembali sehat.”
Sori menceritakan segala apa yang terjadi pada mereka. Dari cerita yang telah disampaikan anaknya, Datuk Baha dengan bangganya meminta anaknya membawa Ume ke hadapannya. Bergegas dengan cepatnya, tiba-tiba Sori telah berada di hadapan bapaknya dengan membawa Ume. “Hmmm…Ume namamu?” Tanya Datuk Baha “Benar, Tuanku,”jawab Ume.
Lalu terjadilah obrolan yang membuat orang di sekelilingnya terdiam dan tertegun atas pengalaman Si Ume. Tak terasa hari semakin sore, karena jarak antara desa Sori tidaklah begitu jauh dengan pengungsian, mereka beramai-ramai kembali ke rumahnya. Karena Ume tidak mempunyai tempat tinggal, Datuk Baha mengijinkan Ume untuk beristirahat di kediamannya.
Pagi menjelang, Ume sudah mempersiapkan diri untuk berpamitan pergi. Telah berkumpul keluarga inti Datuk Baha. Dengan sikap santun, Ume mengutarakan maksud kepergiannya. Saat itu, terjadi perembukan yang luar biasa di antara keluarga Sori.
Situasi di rumah Sori berubah menjadi tegang. Ume merasa apakah dia telah mengalami kesalahan. Akhirnya, Datuk Baha sebagai kepala keluarga berkata, “Ume, anakku, terlebih dahulu dengarkanlah melihat tindak tandukmu dalam beberapa hari ini dan keberhasilanmu menyembuhkan anak Saya beserta anak- anak di kampung ini, kami sekeluarga berharap kau menunda kepergianmu, atas jasa yang sudah kau beri kepada keluarga dan kampung kami ini, kami sekeluarga sepakat untuk menyuntingmu dengan anak kami yang bernama Sori.”
Alangkah terkejutnya Ume, dengan rasa takut dan bibir yang bergemetaran, Ume memberanikan bicara, “Tuanku yang saya hormati, alangkah bahagianya saya mendengarkan berita ini dan saya ucapkan terimakasih, namun Tuanku, saya mohon dipikirkan lagi, apa yang terjadi di luar sana, apabila si miskin dan hina dina ini menikah dengan orang terpandang di kampung ini, maaf Tuanku jika mulut ini lancang.” “Haha…baiklah Ume, kalian sudah mendengar apa yang disampaikan Ume, untuk itu segera persiapkan, tiga hari tiga malam kita adakan acara pernikahan yang besar untuk mereka berdua.
Ume merasa begitu diperhatikan, dia melihat sosok Datuk Baha dan keluarga berbeda dengan penguasa yang ada di kampungnya. Sesosok bapak yang adil dan bijaksana tidak memandang miskin dan kaya. Acara pernikahan pun terlaksana dengan penuh kebahagiaan.
Sejak pernikahan itu, mereka hidup bahagia. Namun di sela santai, Sori melihat kegundahan pada isterinya itu. “Apa yang kau pikirkan isteriku, apakah ada yang salah denganku?” ucap Sori. “Tidak, Suamiku,”balas Ume. “Lalu apakah yang mengganjal hatimu, tidak ada senyum sejak tiga bulan ini,” sahut Sori.
“Maaf suamiku, begini kebahagiaanku ini sangatlah hambar apabila kurasakan sendiri, sedangkan orang tuaku dalam keadaan susah ditambah kehilangan hamba,’ ucap Ume. Ume merasa khawatir apabila suaminya marah. Tiba-tiba, “Baiklah, Isteriku persiapkan bekal yang cukup sebab kita akan menempuh perjalanan jauh karena kampungmu ditempuh dua hari perjalanan.” Tak ada amarah yang didapatnya semua sangat baik kepadanya, Ume pun memeluk suaminya dengan bahagia dan berbisik, “Terimakasih.”
Perjalanan yang dilakukan Ume untuk kedua kalinya dilakukan, namun Ume tidak sendiri dia ditemani oleh Sori, suaminya serta diiringi rombongan. Sebenarnya Sori tak asing dengan kampung isterinya sebab keluarga Sori sering bekerjasama dengan penguasa di sana. Perjalanan selama dua hari ternyata tidak yang sesulit Ume bayangkan.
Semua sangat dimudahkan berbeda jika perjalanan dilakukan sendiri. Akhirnya, tibalah Ume di kampung yang selama ini dia tinggalkan. Kedatangan mereka menjadi pusat perhatian masyarakat di sana.
Banyak orang berlarian dan menaruh hormat kepada mereka. Ume meminta rombongannya berhenti. Dan menyuruh penjaganya memanggil seorang laki-laki yang sebaya dengan bapaknya. Datanglah laki-laki separuh baya dihadapan Ume dan Sori. “Siapa nama Saudara kalau boleh kami tahu? Apakah kau mengenal dengan Bapak dan Ibu yang bernama Kulup dan Nina,”Tanya Ume.
“Nama hamba Ujang, bapak dan ibu yang Tuan cari merupakan sahabat saya,” jawab Ujang. “Dimanakah Mereka? Apakah mereka masih ada,” Tanya Ume penasaran. “Sabar Isteriku,” jawab suaminya. “Mereka saat ini masih bekerja di ladang, Tuan,” jawab Ujang. Tanpa disadari air mata menetes dengan derasnya. “Siapakah Anda,” tanya Ujang. “Bawakan kami ke hadapan mereka,” Tanya Sori.
Karena ladang tempat mereka tak jauh dari ladang yang digarap Ujang, Ujang berlari dan menemui sepasang sahabatnya itu. “Kulup, Nina ada rombongan yang mencari kalian,” ungkap Ujang. Tak sempat bertanya, Ume sudah tersimpu di kedua kaki ibunya dan mereka terbawa suasana yang memilukan hati.
Semenjak pertemuan anak dan kedua orang tuanya itu, kampung yang tadinya mencekam karena pandemi cacar kini kembali normal. Keluarga Karnaen dan anaknya Wan Adi tak berani lagi mencemooh keluarga Ume. Dan diakhir cerita, Ume dan keluarga barunya hidup bahagia.
Dari cerita di atas, kita dapat mengambil suatu hikmah atau pesan yang masih berlaku dan bisa dipakai dalam kehidupan sekarang yang mana roda selalu berputar kadang di atas kadang di bawah. Untuk itu sesama manusia haruslah saling menghormati dan tak saling membanggakan antar kelompok. Dalam menjalani hidup jangan mudah berputus asa terus bekerja keras yang penting lagi haruslah berilmu.
Terimakasih semoga dengan Cerita Rakyat Belitung Timur : Pucok Iding-Iding ini dapat berkesan bagi pembaca.
Posting Komentar untuk "Cerita Rakyat Belitung Timur : Pucok Iding-Iding"