Cerpen : Balasan Yang Setimpal
Cerpen : Balasan Yang Setimpal - Pagi itu suasana begitu ribut, menandakan mau tak mau, suka tak suka, semua harus kembali kepada kesibukan asal. Suatu hal yang lumrah jika bocah-bocah berkostum putih biru bertemu dengan teman sejawatnya. Mereka berinteraksi dengan kisah-kisah bahagia di hari libur yang menyenangkan.
Akan tetapi, selentingan hobi mewarnai telinga mereka, seperti game terbaru, desain motor yang terhebat, bahkan cerita mengenai pacar tak surut diperdebatkan. Bahkan pada saat bel tanda masuk kelas memangil-manggil, bukannya beranjak memasuki lorong kelas, mereka masih terlihat asyik duduk dan bercerita di muka kelas.
Pada akhirnya, kesombongan dari mereka tiba-tiba terhenti, seperti anak-anak ayam melihat elang yang akan menukik memangsa mereka. Dia adalah seorang guru IPA berperawakan tua, bernama Pak Mariadi. Guru yang telah lama mengabdi di sekolah kami.
Kakek nenek sampai ibu bapak kami mungkin pernah diajarkan oleh beliau. Tindak tanduk beliau yang dijuluki sebagai guru killer terngiang dibenak kami bahwa alamat bahaya jika menentang beliau. Angkatan kelas di atasku sudah pernah merasakan “keganasan” beliau. Mulai dari hukuman fisik sampai mental pun tak luput dari sikap beliau.
Dengan langkah yang tidak lagi cekatan, Pak Mariadi melangkah turun melalui tangga kecil yang memang sengaja dibuat sebab letak ruang guru berada lebih tinggi dibandingkan ruang kelas. Pengalaman yang dimiliki beliau memang tidak dapat pandang sebelah mata. Akan tetapi, beliau tidaklah semuda dulu yang memegang prinsip kerjanya.
Di penghujung masa kerjanya yang tak lama lagi berakhir, beliau berusaha menahan emosi dan sabar dalam menghadapi tingkah laku peserta didik. Dalam proses belajar mengajar, beliau selalu menyisipi pembelajaran dengan memberikan nasihat yang bermanfaat. Karena beliau merasa anak-anak zaman sekarang sudah terlalu jauh kehilangan arah.
Beberapa faktor penyebabnya tentu saja tidak akan habis selembar kertas kalau aku tulis. Peserta didik sekarang sudah merasa jumawa, segala apa yang diinginkan selalu bisa terpenuhi dengan mudah. Handphone terbaru dengan layar sentuh mudah sekali didapat, Motor keluaran terbaru belum lama dipesan sudah ada di depan rumah. Sedih saja, jika mengingat kembali ceita lama itu.
Dengan langkah kecilnya, tak lama kemudian, Pak Mariadi berhenti di depan tangga kelas 8A. Dengan gaya eksentrisnya, bertolak pinggang dan dari mulutnya keluar suara serak khasnya memanggil-manggil supaya anak-anak masuk ke kelas masing-masing. Melihat gerak-gerik Pak Mariadi dan suara layaknya marah membuat tak ada lagi terdengar dan keluar dari mulut mungil kami.
Tidak ada kata lain, selain kami berbondong-bondong masuk ke kelas masing-masing. Perasaan khawatir yang menghantui, jikalau tangan beliau mendarat dan membekas di kulit kami. Namun pagi itu, suasana begitu berbeda.
Pak Mariadi begitu dingin dan bersahabat. Tak ada satu celotehan pun keluar dari mulutnya. Pak Mariadi langsung menuju meja guru dan mempersiapkan diri. Keheningan tiba terjadi saat ketua kelas memimpin salam dan doa. Selepas itu, tampak seperti biasa beliau memeriksa buku kehadiran siswa.
Sebuah nama yang menjadi perhatian Pak Mariadi adalah Abdurahman. Hampir dua minggu ini, siswa yang bernama Abdurahman tak terlihat batang hidungnya. Bahkan dia tidak pernah mengikuti ujian tengah semester.
Suara yang selama ini kami tunggu pun akhirnya bergema, “Siapa yang tahu dengan Abdurahman?” ujar Pak Mariadi. Aku yang merupakan teman sepermainan dan bertetanggaan sekalipun tak berani untuk menjawab hal semudah itu. Mulut ini terasa terkunci dan berat untuk mengatakan kebenaran.
Suasana begitu hening, tak seorang pun berani berterus terang. Akan tetapi, saat Pak Mariadi beranjak dari kursinya, dari pojok kiri depan pintu terdengar suara kecil yang tampak begitu hati-hati dan malu-malu. Dia adalah Fitriani, siswi terbaik di kelas saat itu.
Dia berusaha menjelaskan duduk perkara sebenarnya tentang Abdurahman tidak masuk ke sekolah. “Selama ini..Abdurahman membantu bapaknya ke kolong, Pak,” jawab Fitriani dengan terbata-bata. Mengetahui persoalan itu, Pak Mariadi menghela nafas sambil berjalan menuju kursi terdepan peserta didik.
Suasana kelas menjadi semakin tegang. Siswa yang asyik bercanda dan mengobrol menjadi diam tak berkutik. “Apakah membantu orang tua itu perbuatan yang dilarang anak-anak,” Pak Mariadi mencoba mengawali pembelajaran dengan bertanya jawab kepada peserta didik.
Dengan serempak kami menjawab, “Tidak, Pak.” Namun Pak Mariadi menyayangkan perilaku salah seorang peserta didik yang bernama Abdurahman dan bahkan Abdurahman-Abdurahman lainnya yang tak pernah disebutkan. “Apakah dibenarkan perbuatan yang dilakukan oleh teman kalian?” Tanya Pak Mariadi kembali. “Boleh, Tidak, Pak,” balas peserta didik. Dua jawaban tersebut menyebabkan Pak Mariadi mengernyitkan kening kepalanya yang lebar dikarenakan rontok ditelan usia.
Untuk menjelaskan ini, Pak Mariadi terlihat begitu hati-hati. Semua alasan yang muncul dan berkembang merupakan suatu pilihan. Pendidikan penting, tetapi membantu orang tua jauh lebih penting.
Tapi pada kenyataannya, semuanya akal-akalan semata-mata anak untuk menghindar dari tanggung jawab. Generasi sekarang terlena akibat mudahnya mendapatkan materi. Padahal mereka sudah paham bahwa hasil tambang bukanlah sumber daya alam yang dapat diperbarui.
Lahan-lahan yang dijadikan sumber penghidupan tentu saja akan rusak dan kesempatan bagi yang muda tidaklah bisa diwariskan begitu saja. Unek-unek yang telah disampaikan oleh Pak Mariadi bagaimanapun juga, tidak diterima mentah-mentah oleh kami. Banyak dari kami acuh tak acuh mendengarkan ocehan pak tua itu.
Tiba-tiba dari belakang, terdengar seorang memanggil nama dan sambil memegang pundakku. Keterkejutan itu membuyarkan bayangan perilaku ceroboh yang sulit menerima nasihat dari seorang tua yang selalu menasihati kami. Sambil mengucek mata dan tersadar saat silauan pancaran sinar matahari yang mengenai pelupuk mata. “Abdu..,” ucapku. “Siapa lagi, Gi,” balas Abdurahman sambil tersenyum.
Kedua sahabat itu begitu konyol tidak berubah saat masih duduk di SMP. Jarang masuk dan pandai menyimpan rahasia sesama teman. Kehidupan sekarang sudah berubah, Abdurahman senang dengan kesendiriannya sedangkan aku sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak perempuan yang masih imut-imutnya.
Kebetulan, selain bersahabat, kerja kolong mengais sisa-sisa barang tambang yang terkenal di tempat kami merupakan profesi kami berdua. Profesi yang selama ini dibangga-banggakan berakhir dengan keluhan yang tiada akhir. Akhirnya kesusahan yang tak pernah hadir di kala muda, sekarang terbentang di pelupuk mata.
“Abdu..sedari tadi aku mencari, tak sedikitpun nyangkut,” ucap Aku. “Sama, Egi, sudah dua hari aku keliling lokasi ini,” balas Abdu. Perasaan bercampur aduk bagi keduanya dikarenakan banyak yang harus dipikirkan.
Pencarian akan barang tambang yang jaya pada masanya itu berakhir pada ketidaktersediaan bagi anak-anak seperti Aku dan Abdurahman yang putus sekolah. Ketiadaan lahan untuk mendulang rupiah dari barang tambang membuat kebingungan bagi generasi muda dan tua saat ini. Jika generasi muda mendengar nasihat yang sedikit bermakna itu, tidaklah rugi setelah melihat lobang-lobang yang ditinggalkan tak berguna. Abdurahman dan Aku hanya bisa meratapi lokasi kerja yang terus tergerus dan berbahaya. Sedangkan keluarga harus diberikan makan.
Pernah suatu ketika, dengan rasa yang putus asa. Aku mencari lahan yang begitu sulit ditemui. Sampai suatu ketika, aku dengan terpaksa menambang di tanah orang lain. Betapa pahitnya hidup yang harus aku terima, suatu hal yang tak terduga.
Beberapa orang perawakan kasar dengan parang di tangan diayun-ayunkan guna mengusirku untuk pergi meninggalkan lokasi tambangnya. Seandainya waktu bisa diputar, Jika waktu itu aku belajar dengan baik, tidak ikut-ikutan bolos, dan mengurangi gaya hidup mewah, dan jika saat itu juga, aku mendengarkan apa yang dinasihati Pak Mariadi dan menghormatinya.
Tentu saja semua perjalanan hidupku bisa berjalan dengan baik. Namun semua yang terjadi merupakan resiko yang harus kuterima. Semua merupakan pilihan. Yang mana kalimat itu tercetus dari suara serak Pak Mariadi yang sulit terlupakan.
Kalimat itu ditujukan kepada kami agar bisa menimbang mana yang pantas atau yang tak pantas. Kini risiko itu benar-benar terjadi menimpaku. Hidup merasa tidak tenang, setiap waktu, setiap hari ada saja penagih utang menyatroni kediamanku sehingga keluarga menjadi terusik.
Dan sampai hidup telah berkeluarga pun, aku masih beketergantungan dengan orang tua. Akan tetapi, dalam prinsipku, sebelum nyawa berhenti, hidup terus berjalan. Dengan adanya keluarga setia yang mendampingi, membuat tekad bulatku untuk berubah begitu besar.
Dengan langkah yang pelan dan pasti, aku berusaha untuk mengembalikan tanah warisan orang tua yang selama ini terbengkalai karena keserakahan atas bahan tambang di dalamnya menjadi tempat yang berguna. Di bantu orang tua dan kekuatan motivasi anak isteri, aku mengolah lahan tersebut menjadi perkebunan buah-buahan yang sederhana. Seiring dengan berjalannya waktu, kolong-kolong yang tak berguna sedikit demi sedikit berubah menjadi tambak yang produktif.
Harapan terhadap perubahan lahan yang berguna membuatku semakin percaya diri untuk menjalani hidup ke depan. Dengan semua proses hidup yang kualami, membuatku menjadi lebih bijaksana dalam mengambil keputusan untuk mengurangi kerusakan lingkungan.
Demikianlah Cerpen : Balasan Yang Setimpal, semoga kalian terhibur.
Posting Komentar untuk "Cerpen : Balasan Yang Setimpal"