Cerpen : Dōmo Arigatō
Cerpen : Dōmo Arigatō - Pukul 11.30 , tahun 2020, saat aku melihat jam tangan pemberian orang tuaku yang selalu kujaga. Hati terus tak merasa tenang sebab hampir satu hari aku diperjalanan. Saat terdengar pilot meminta ijin kepada petugas menara bandara.
Senyum kecil terbersit saat terlihat bentangan hijau pohon sawit dan kolong-kolong khas bekas tambang timah yang sudah ditinggalkan dari balik jendela pesawat terbang. Jantungku terus berguncang hebat sebab aku sudah lama tak menginjakkan kaki di kota kelahiranku. Hati ini bertambah bahagia, saat roda pesawat yang kutumpangi mendarat dengan sempurna.
Cuaca hari itu sangat terik. Berbeda halnya dengan kota keduaku bermukim, tempat lahirnya kartun lucu berkarakter bernama Doraemon, walau ada musim panas, tapi tak sepanas di kotaku. Dengan tergesa-gesa aku menuruni tangga dan berlari menuju ruang tunggu barang.
Tak luput dari pandangan, rasa berkesan terhadap perkembangan yang sudah belasan tahun lebih kutinggalkan. Bersandar melepas lelah setelah perjalanan jauh pada kursi empuk yang sudah disiapkan bagi penumpang, terbersit suatu kisah bagaimana susah payahnya aku dalam memperjuangi hidupku yang serba kekurangan.
Saat itu tahun 1981, Aku adalah anak tunggal, dilahirkan oleh seorang wanita yang sangat kusayangi dan kuhormati. Beliau adalah sosok perempuan lemah lembut dan pekerja keras. Karena dengan sisa kekuatan terakhir, umak menyelamatkanku dan Allah memberikanku kesempatan hidup, namun pada hari itu juga aku sudah piatu.
Kondisi perekonomian keluargaku semakin terpuruk sepeninggal umak yang sudah tiada. Sebab dengan adanya umak sedikit banyak membantu pekerjaan bapak. Bapak kerja serabutan sehingga untuk menghidupiku beliau tidak mampu memenuhi giziku dengan baik, walaupun begitu aku tetap bersyukur, bapak telah menjagaku dan membesarkanku walau keadaan fisikku tidak sempurna.
Keinginan untuk membahagiakan keluarga dengan kondisi yang tidak memungkinkan itu, menjadi cambuk untuk memecutku pada titik dimana aku merasa tak dapat lagi melakukan sesuatu. Dengan penuh kasih sayang, bapak telah memberikan kesempatan untuk mengantarkan aku untuk duduk di bangku SMA ternama di kotaku.
Akan tetapi untuk mencapai itu semua tidak dengan usaha mudah. Karena sejak SD dan SMP, aku merasa lingkungan tak menerima kami, berbagai persoalan silih berganti tak pernah berhenti. Cemooh dari teman menjadikan aku cepat dewasa.
Karena kemiskinan kami itu, menyebabkan kami tertatih-tatih, tapi kekurangan tidak menjadikan aku putus asa. Bermodal tekad dan keyakinan kepada Allah, menjadikan minat bacaku terhadap buku sangat besar sekali. Sehingga pengetahuanku terus terasah. Kalau banyak teman menghabiskan waktu istirahatnya bermain, bercengkrama, dan menghabiskan uang jajan di kantin.
Aku lebih suka duduk dan menghabiskan waktu di perpustakaan dan kadang kala aku meminjam buku yang belum sempat habis kubaca. Sesekali petugas perpustakaan menyapa dengan lembut “Pram, kalau ibu perhatikan, kau tak pernah bermain, dengan teman-temanmu?” dan biasanya aku hanya bisa tersenyum sambil membaca buku yang kupegang.
Hampir semua buku telah kubaca, dari buku pelajaran sampai buku fiksi yang menghibur. Aku sangat bersyukur sekali kepada Sang Pencipta, walaupun aku memiliki fisik yang tidak sempurna Allah memberikan ingatan yang kuat. Sehingga saat itu, semua yang kulakukan terasa lebih mudah.
Aku tak pernah menyusahkan bapakku. Hasil yang kudapatkan di sekolah saat SD dan SMP sangat membanggakan bapak dan guru-guru. Sehingga mengantarkan Aku bersekolah di SMA negeri ternama di kotaku.
Tahun 1997, tahun yang sulit bagiku, sebab orang yang paling kusayangi meninggal dunia. Tak ada lagi yang bisa kulakukan sebab orang yang selalu menjagaku tak lagi di sisiku. “Siapa lagi yang akan menjagaku, merawatku, dan memenuhi keperluan sekolahku,” aku meratapi ketidaksanggupan pada pusara bapakku yang masih basah dengan jejak pelayat yang telah meninggalkanku sendiri.
Entah berapa lama saat itu, tangan mungil menyentuh bahuku, membuatku terjaga dari kesedihan “hari sudah menjelang sore, adik harus balik,”tegur penjaga makam yang secara sengaja telah mengamati aku. Dengan gontai tubuhku berlabuh dipelukan kakek itu. Sambil mengusapkan air mata yang terus menetes, kakek itu terus memberikan motivasi untuk terus menjalani hidup yang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa.
Walaupun nasihat itu berusaha mengingatkanku, tapi hati dan jiwa tak bisa dipaksakan saat itu. Dengan lunglai ku berjalan menyusuri jalan sempit menuju rumahku. Saat ini, aku betul-betul sendiri, tak ada lagi yang bisa kulihat bapak yang biasa berbaring diranjang bambu melepas lelah setelah bekerja berat.
Mengingat itu semua, membuat aku terus bersedih. Sesekali ibu tetangga bergantian menjengukku dan memberikan sedikit makanannya untuk kumakan. Dan sesekali mereka berpesan dan terus berusaha memotivasiku. Keadaanku yang terus meratapi kesusahan itu membuat mereka bersimpatik, sebab telah dua minggu aku mengalami keterpurukan batin ini.
Namun entah mengapa, saat waktu itu, hati ini merasa bergetar aliran darah mengalir deras keseluruh pembuluh darah menyadarkanku sedikit menuju kewarasan. Sejak rumahku didatangi dua tamu istimewa, yaitu walikelas yang baik hati, guru motivator, Pak Mahar namanya dan seorang yang dapat dikatakan sahabat sejati yang tidak membedakan pertemanan, walau dia adalah murid terkaya di sekolah kami, dia adalah Zulkarnaen. Tampak dari wajah mereka penuh keikhlasan.
Selain memberikan pesan, ada sesuatu yang tidak dapat dilupakan dari ucapan sahabatku itu, “Pram, saat aku melihatmu penuh kekurangan, terbersit pancaran sesuatu keoptimisan menjalankan hidup dari wajahmu, dengan adanya pengelihatan aku pada dirimu secara tidak langsung sebagian jiwaku memberontak untuk mengubah jalan hidupku.” “Oleh karena itu, Pram, ayo kita bersama menggapai mimpi kita!” Ucap Zul kepadaku.
Aku pun sekarang tak merasa sendiri, ternyata banyak teman mengharapkanku kembali ke kelas. Setiba berada di ruang kelas yang telah lama kutinggalkan. Rasa haru bercampur bahagia. Wajah-wajah yang penuh penantian bak batu permata yang telah lama tenggelam.
Mereka menyambutku penuh dengan semangat. Berbeda sewaktu di SD dan SMP, mereka betul-betul telah mempunyai sifat kedewasaan atau hanya aku saja yang memang menghindari orang lain. Terucap pelan dari bibirku yang jarang sekali kulontarkan, “Terimakasih semuanya.”
“Pram,” dari kejauhan Zul berteriak memanggilku saat aku akan memasuki perpustakaan untuk mencari informasi tentang pelajaran yang sudah jauh tertinggal. Tiba-tiba saja Zul telah berada di sampingku sambil menawarkan segelas minuman dingin berwarna merah yang kalau diminum akan melegakan. Tanpa basa-basi kuambil dan kuminum.
Zul pun hanya tersenyum. Mereka pun tertawa. Mereka seperti dua orang yang tak terpisahkan.
Walau kelas yang memisahkan, perpustakaan yang menyatukan mereka. Kehadiran Zul membawa arti penting dalam menjalani hidupku. Bukan memperalat kekayaan yang dimiliki, tapi keikhlasan Zul membantu dengan meminjamkan laptopnya untuk menerbitkan artikel-artikel yang kukirimkan ke media lokal, selain itu lomba-lomba menulis yang selalu kami menangkan bersama.
Tahun 2000, tahun ini merupakan titik tolak keberhasilan kami. Setelah tiga tahun menjalin persahabatan saat berseragam putih abu-abu. Bersama ingin menggapai mimpi dengan Zul sahabatku.
Aku yang duduk di kelas IPA dan Zul di kelas IPS akan menentukan mimpi akan di bawa kemana. Ternyata betul yang memisahkan kebersamaan kami adalah mimpi kami. Karena prestasi yang dimiliki Zul mendapat beasiswa dari salah satu sekolah ikatan dinas milik pemerintah dalam bidang akuntansi.
Sedangkan aku tidak ada salah satupun perguruan tinggi negeri yang minat memberikan beasiswa kepadaku. Padahal saat itu, aku adalah anak yang berprestasi dan selalu juara umum di sekolah. Tapi, aku bukanlah Pram yang dulu, aku telah terbiasa hidup susah dan kebal terhadap cemoohan atas kekurangan fisikku, kini aku telah menjadi Pram yang kuat dan siap dalam menaklukkan dunia.
Perpisahan itu akhirnya terjadi, sebagai kenang-kenangan Zul memberikan laptop dan modemnya kepadaku. “Dengan ini, kita tidak akan terpisahkan,” sahut Zul. Aku hanya bisa memeluknya untuk mengucapkan perpisahan “selamat jalan sobat.”
Sebulan berlalu, setelah perpisahan itu, aku buka laptop dan email yang telah banyak belum sempat kubaca. Kubaca dan kubalas satu persatu pesan termasuk pesan dari sahabatku yang sudah ada di kota baru itu. Alangkah terkejutnya, saat aku menscroll ke bawah pesan berikutnya suatu lembaga yang bergerak memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak Indonesia tanpa melihat latar belakang miskin dan kaya di bawah Kementerian Keuangan mengundangku untuk melakukan tes penerimaan beasiswa.
Ternyata waktu tes tinggal tiga hari saja sebab sudah lama aku tak membuka pesan itu. Uang hasil tulisan dan lomba yang telah lama kusimpan akhirnya bermanfaat. Aku kabari teman baikku dan Pak Mahar yang sudah memberikan motivasi.
Betapa bahagia mereka mendengar kabar itu. Tahun ini juga mengubah hidupku, sujud syukur kupanjatkan kepada Allah Sang Pemberi Rezeki. Pesawat tujuan Tokyo membawaku ke Universitas Ternama di sana.
Program yang kuambil saat itu adalah teknik sipil. Ilmu itu terus kugeluti sampai akhirnya universitas memberikan apresiasi dengan mengangkatku sebagai dosen dan sampai akhirnya aku melanjutkan dan menyelesaikan S3 tahun 2008.
Tiba-tiba sesosok orang berperawakan kurus menyentuh bahuku dan memanggil namaku “Pramudiya, apa betul itu kamu?”Aku terkejut dan terdiam sambil menatap sosok laki-laki tersebut. “Iya betul, anda siapa, sepertinya saya tak asing melihat saudara,”ujar aku.
Dipeluknya aku oleh tangan kecilnya dan ia pun berbisik, “saya Zulkarnaen, temanmu.” Dengan sedikit kaget bercampur haru, aku membalas pelukan Zul sahabatku itu penuh semangat. “Selamat datang di kota kita,” ujar Zul.
Kami mengobrol tak terkira dua jam telah berlalu. Aku pun diajak Zulkarnaen berkunjung ke rumahnya karena aku tidak mempunyai tempat tinggal di kota ini. Rumah yang kami diami waktu itu hanyalah pondok yang dipinjamkan dari seorang dermawan saat itu.
Tak terkira saat memasuki rumah Zul ternyata rumah itu tidak berubah sedikitpun yang berubah hanya penghuninya saja seorang perempuan dan ketiga orang anak perempuan yang cantik. “Mengapa, Pram, kamu heran?” “Itu keluargamu, kau masih tinggal di sini, mana orang tuamu?”
”Orang tuaku sudah lama meninggal Pram, kami datang tiap akhir pekan, melepas penat dari kesibukan ibu kota, samalah sepertimu yang sukses di negeri orang,” “haha...” mereka tertawa lepas. Di waktu yang bahagia itu, Aku pun meminta kepada temanku itu untuk mengantarkanku ke makam kedua orang tuaku yang telah lama tak kulihat.
Tanpa berpikir panjang Zul mengiyakan bahkan “Kalau kau mau kita akan menapak tilas perjalan hidup di kota kita ini.” Dengan perasaan haru melihat tidak ada sama sekali perubahan sikap dari teman akrabku ini. Dōmo arigatō sambil membungkukkan rasa tanda bersyukur dan terimakasih.
Terimakasih, telah membaca Cerpen : Dōmo Arigatō, semoga menghibur.
Posting Komentar untuk "Cerpen : Dōmo Arigatō"