Jurnal : Model Multiliterasi Berbasis Kecerdasan Intrapersonal
MODEL MULTILITERASI BERBASIS KECERDASAN INTRAPERSONAL
Mahar pramudiya1, Yeti Mulyati2, Sumiyadi3
S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak
Jurnal : Model Multiliterasi Berbasis Kecerdasan Intrapersonal - Yang mendasari penulisan ini adalah guru belum mampu memahami kecerdasan dari peserta didik, sehingga guru memiliki kesulitan dalam memfasilitasi proses pengembangan potensi individu menjadi yang dicita-citakan. Padahal, salah satu karakteristik penting dari peserta didik yang perlu dipahami oleh guru sebagai pendidik adalah bakat dan kecerdasan individunya. Oleh karena itu, penulisan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan model multiliterasi berbasis kecerdasan intrapersonal dalam usaha memperkaya model pembelajaran di kelas. Dalam upaya mendeskripsikan tulisan ini, penulis menggunakan metode studi pustaka. Berdasarkan tulisan ini model pembelajaran multiliterasi berbasis kecerdasan intrapersonal diharapkan mengoptimalkan keterampilan multiliterasi dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih baik menuju ketercapaian keterampilan, yaitu literasi membaca, literasi menulis, dan literasi berbahasa lisan, dan literasi informasi dan media digital (TIK) yang mencerminkan kecerdasan individu.
Kata kunci: model pembelajaran, multiliterasi, kecerdasan intrapersonal
PENDAHULUAN
Kegiatan pembelajaran pada dasarnya upaya pengembangan potensi siswa melalui serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan pembelajaran diupayakan menggarap kehidupan intelek anak. Hal dimaksudkan supaya anak kelak menjadi orang dewasa yang memiliki kemampuan berpikir, seperti yang diharapkan dari orang dewasa secara ideal, yaitu mampu berpikir abstrak logis, kritis sistematis analitis, sintetis, integratif, dan inovatif (Sadulloh, 2015, hlm. 8). Kegiatan pembelajaran bukanlah kegiatan yang hanya menyampaikan materi dengan cara menghafal secara terus menerus. Selaras dengan Chatib (2013, hlm. 21), pembelajaran menjadikan setiap siswa adalah manusia, manusia yang memiliki potensi atau kecerdasan.
Pada hakikatnya, kecerdasan menduduki tempat yang begitu penting dalam dunia pendidikan, namun seringkali kecerdasan ini dipahami secara parsial oleh sebagian kaum pendidik. Dimyati (1989, hlm. 109) menyatakan bahwa sebenarnya pendapat yang menjelaskan bahwa kecerdasan orang-orang itu berbeda satu sama lain adalah sudah sejak lama. Sesungguhnya setiap anak dilahirkan mempunyai bakat tertentu dan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan.
Proses pembelajaran yang baik adalah mengembangkan berbagai potensi dan kecerdasan yang ada dalam diri siswa. Oleh karena itu, suasana belajar dan pembelajaran itu diarahkan agar pendidikan itu berbasis pada siswa (student oriented) dan peserta didik harus dipandang sebagai seorang yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Sedangkan tugas pendidik yaitu mengembangkan potensi yang dimiliki anak.
Maka dari itu, seorang guru dituntut untuk menguasai model pembelajaran yang dilakukankannya supaya dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Hal ini searah dengan apa yang diungkapkan oleh Joyce, dkk. (2009, hlm. 8) yang mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran harus menggunakan strategi dan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan karakteristik siswa agar proses pembelajaran menjadi lebih bermakna. Penggunaan model pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dari sebuah proses pembelajaran.
Multiliterasi merupakan paradigma baru dalam pembelajaran literasi. Pembelajaran literasi berimplikasi pada munculnya konsep multiliterasi. Konsep multiliterasi muncul karena manusia tidak hanya membaca atau menulis, namun mereka membaca dan menulis dengan genre tertentu yang melibatkan tujuan sosial, kultural, dan politik yang menjadi tuntutan era globalisasi, maka hal ini menjadi dasar lahirnya multiliterasi dalam dunia pendidikan. Setemali dengan pelangi keterampilan dan pengetahuan yang dikembangkan The Partnership for 21st Century Skills, Trilling & Fadel (2009, hlm 48) menjelaskan bahwa keterampilan utama yang harus dimiliki dalam konteks abad ke-21 adalah keterampilan belajar dan inovasi. Hal ini mencakup pada kemampuan siswa dalam keterampilan berpikir kreatif yang pada dasarnya didukung oleh setiap aktivitas siswa dalam pembelajaran di dalam kelas, yaitu kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berkolaborasi, dan kemampuan berkreativitas dan berinovasi. Seluruh keterampilan tersebut pada dasarnya tidak dapat berdiri sendiri tanpa media besar yang memayunginya. Wadah besar yang dapat memayungi seluruh keterampilan di atas adalah empat literasi dasar yaitu literasi membaca, literasi menulis, dan literasi berbahasa lisan, dan literasi informasi dan media digital (TIK) (Marocco, 2008, hlm. 8)
METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan melakukan studi pustaka. Studi pustaka dimaksudkan untuk menggali berbagai teori yang relevan untuk dijadikan acuan dalam penyususnan model pembelajaran yang menjadi bahan ujicoba. Teori-teori yang dipelajari adalah berbagai teori yang berhubungan dengan model pembelajaran dalam hal ini model pembelajaran multiliterasi menulis yang berorientasi kecerdasan intrapersonal.
PEMBAHASAN
A. Ihwal Model Pembelajaran Multiliterasi
a. Model Pembelajaran
Rusman (2012, hlm. 137) memaparkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran ada dua pelaku yang sangat penting, yaitu guru dan siswa. Perilaku guru adalah mengajar dan perilaku siswa adalah belajar. Perilaku belajar dan mengajar tersebut sangat berhubungan erat dengan bahan pembelajaran. Bahan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai kesusilaan, seni, agama, sikap, dan keterampilan. Hasil penelitian para ahli tentang kegiatan guru dan siswa dalam kaitanya dengan bahan pengajaran itulah yang biasa disebut model pembelajaran.
Salah satu batasan tentang model mengajar menurut Chauhan (Wahab, 2008, hlm. 52) ialah pengembangan model pembelajaran dimaksudkan membantu guru meningkatkan kemampuannya untuk lebih mengenal siswa dan menciptakan lingkungan yang lebih bervariasi bagi kepentingan belajar siswa.
Dengan memperhatikan batasan tersebut, Wahab (2008, hlm. 52) mengungkapkan bahwa model mengajar merupakan sebuah perencanaan pengajaran yang menggambarkan proses yang ditempuh pada proses belajar mengajar agar dicapai perubahan spesifik pada perilaku siswa seperti yang diharapkan. Setemali dengan pernyataan tersebut, Joyce dan Weil (2009, hlm. 30) mengungkapkan bahwa suatu model pengajaran merupakan gambaran suatu lingkungan pembelajaran yang juga meliputi kita sebagai guru saat model tersebut diterapkan.
Selanjutnya, Joyce dan Weil (Rusman, 2012, hlm. 133) menyebutkan bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membuat dan membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.
Rusman (2010, hlm. 142) menambahkan bahwa model pembelajaran itu memiliki ciri-ciri, yaitu:
1) berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.
2) mempunyai misi dan tujuan pendidikan tertentu.
3) dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar dikelas.
4) memiliki bagian-bagian model yang dinamakan
a) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax).
b) adanya prinsip reaksi.
c) sistem sosial.
d) Sistem pendukung.
5) memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran yang meliputi
a) Dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur.
b) Dampak pengiring yaitu hasil belajar jangka panjang.
6) membuat persiapan mengajar desain instruksional dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.
b. Pengertian Multiliterasi
Multiliterasi mengandung pengertian sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun teks inovatif, simbol, dan multimedia (Abidin, 2015, hlm 51). Dalam pandangan multiliterasi, siswa perlu menjadi ahli dalam memahami dan menggunakan berbagai bentuk teks, media, dan sistem simbol untuk memaksimalkan potensi belajar mereka, mengikuti perubahan teknologi, dan secara aktif berpartisipasi dalam komunitas global. Pembelajaran multiliterasi dengan demikian ditujukan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam literasi kritis, literasi visual, literasi media, literasi teknologi, literasi lintas kurikulum (IPS, matematika, sains, seni, dan mata pelajaran lainnya), dan literasi dalam bahasa lain.
Konsep multiliterasi di atas sejalan dengan konsep Eisner (Kist, 2005, hlm.12) yang menyatakan bahwa multiliterasi merupakan kemampuan membaca, menulis puisi, membagi, melukis, menari, menulis novel, ataupun kemampuan berkontak dengan berbagai media, yang memerlukan literasi sehingga literasi dapat di pandang sebagai cara untuk menemukan dan membuat makna dari berbagai bentuk representasi yang ada di sekitar kita. Pandangan Eisner senada dengan pandangan C. Luke (Kist, 2005, hlm. 41) yang menyatakan bahwa multiliterasi merupakan kemampuan memandang pengetahuan (pembelajaran) secara integratif, tematik, multimodal, dan interdisipliner.
Baguley, Pullen, dan Short (2010) memandang multiliterasi sebagai cara untuk memahami secara lebih luas kurikulum literasi yang dipelajari di sekolah formal yang mendorong siswa agar mampu berpartisipasi secara produktif di dalam komunitas masyarakat. Dengan kata lain, multiliterasi merupakan sebuah ancangan yang dapat digunakan untuk memahami beragam jenis teks dan beragam bentuk media yang dihasilkan berbagai teknologi baru melalui konsep pedagogik yang memberikan guru peluang untuk menyajikan informasi kepada siswa dengan menggunakan beragam bentuk teks dan media.
Pengembangan multiliterasi dalam konsep pedagogik dunia pendidikan memberikan nilai dalam meningkatkan efektifitas lingkungan belajar bagi siswa, misalnya membantu siswa untuk memahami perbedaan sosial budaya, penguasaan dan pengembangan keterampilan dalam bidang teknologi komunikasi. Oleh karena itu, pendekatan multiliterasi yang dikembangkan harus berdasarkan kesadaran dan pengakuan atas keberagaman dan kompleksitas perspektif budaya siswa dan keberagaman gaya belajar yang dimilikinya. Dalam usaha pengembangan multiliterasi dalam konsep pedagogik, ada empat komponen yang membangun yakni praktis, pembelajaran yang jelas, bingkai kritis, dan transformasi praktis (The New London Group, 1996).
Sejalan dengan konsepsi multiliterasi dan pembelajaran multiliterasi tersebut, multiliterasi dan pembelajarannya bermuara pada kepemilikan multikompetensi. Artinya, siswa tidak hamya memperoleh satu kompetensi melainkan beragam kompetensi baik kompetensi keilmuan, kompetensi berpikir, maupun kompetensi sikap dan karakter. Hal tersebut dipertegas oleh Marocco (2008, hlm. 5) bahwa kompetensi terpenting yang dimiliki oleh manusia adalah kompetensi pemahaman yang tinggi, kompetensi berpikir kritis, kompetensi berkolaborasi dan berkomunikasi, dan kompetensi berpikir kreatif.
c. Orientasi Model Pembelajaran Multiliterasi
Sejalan dengan perkembangan paradigma dunia tentang makna pendidikan, pendidikan dihadapkan sejumlah tantangan yang semakin berat, salah satu tantangan nyata tersebut adalah pendidikan hendaknya mampu menghasilkan sumber daya manusia yang memeliki kompetensi utuh. berkenaan dengan kompetensi yang harus dikembangkan pada abad ke-21 secara lebih komprehensif Trilling dan Fadel (2009, hlm.21) menyatakan terdapat beberapa karakteristik penting kehidupan pada abad ke-21. Karakteristik penting tersebut menjadi kekuatan utama yang mendorong kita untuk menghasilkan cara baru dalam belajar pada abad ke-21 yang selanjutnya mendorong perlunya revitalisasi peran dan fungsi pembelajaran dan pendidikan dalam menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.
Pembelajaran dalam abad ke-21 dipengaruhi oleh empat kekuatan penting yang harus diperhatikan agar pembelajaran mampu memainkan peran penting dalam menghasilkan lulusan yang siap hidup dan berkehidupan. Keempat kekuatan penting tersebut selanjutnya melahirkan prinsip-prinsip pembelajaran, menyediakan alat belajar, dan menciptakan lingkungan belajar yang harus dipersiapkan dunia pendidikan.
Kekuatan pertama adalah pengetahuan untuk bekerja. Selain harus berpikir, dunia kerja memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan literasi teknologi informasi dan mampu bekerja secara kolaboratif dan mampu menjalinn komunikasi yang baik di lingkungan kerjanya. Kemampuan-kemampuan ini diperlukan untuk melahirkan produk dan layanan baru yang berfungsi untuk memecahkan masalah nyata.
Kekuatan kedua yang mendorong lahirnya arah baru pembelajaran dan pendidikan abad ke-21 adalah kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir menjadi kemampuan utama yang harus . dimiliki para pekerja agar mampu bekerja secara efektif. Penguasaan pengetahuan dan alat-alat berpikir diyakini harus dijadikan arah proses pendidikan karena keduanya dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan belajar, bekerja dan menjadi insan kreatif yang sangat diperlukan di dunia kerja.
Kekuatan besar yang ketiga adalah gaya hidup digital. Penggunaan perangkat teknologi digital telah menjadi kebutuhan sehari-hari. Pendidikan seharusnya memanfaatkan berbagai teknologi digital sebagai alat belajar dalam menciptakan pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, kreatif, inovatif sekaligus menyenangkan bagi para siswa. Selain itu penguasaan keterampilan digital ini akan menjadikan para siswa sebagai sumber daya manusia yang melek terhadap informasi dan teknologi informasi dan komunikasi.
Kekuatan keempat adalah penelitian pembelajaran. Penelitian pembelajaran melahirkan sejumlah pemikiran, prinsip, dan arah baru penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan efesien. Bertemali dengan kondisi ini proses pembelajaran dan pendidikan pun harus berubah dari pola pembelajaran yang berpusat pada guru menuju keseimbangan pola pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru.
Upaya mewujudkan proses pembelajaran di atas, salah satunya dapat dilakukan melalui pemahaman tentang konsep pengetahuan dan keterampilan abad ke- 21. Trilling dan Fadel (2009, hlm. 48) menjelaskan bahwa keterampilan utama yang harus dimiliki dalam konteks abad ke-21 adalah keterampilan belajar dan berinovasi. Keterampilan ini berkenaan dengan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan berkolaborasi, dan kemampuan untuk beraktivitas dan berinovasi. Oleh sebab itu proses pembelajaran hendaknya diorientasikan untuk membekali siswa dengan ketiga keterampilan tersebut disamping membekali siswa dengan pengetahuan keilmuan. Kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan memecahkan masalah dimaksudkan keterampilan yang menggunakan berbagai alasan secara efektif, keterampilan berpikir secara sistemik, keterampilan mempertimbangkan dan membuat keputusan dan keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan berkomunikasi dan berkolaborasi dimaksudkan untuk membekali siswa agar mampu berkomunikasi untuk berbagai tujuan secara jelas dan efektif, baik dalam hal berbicara, menulis, membaca, maupun menyimak dan membekali siswa agar mampu berkolaborasi dengan orang lain sehingga siswa akan mampu bekerja secara efektif dalam kelompok, melakukan negosiasi secara efektif dan mampu menghargai peran orang lain dan kelompoknya. Kemampuan berativitas dan berinovasi dimaksudkan untuk membekali siswa agar mampu berpikir kreatif, bekerja kreatif dengan orang lain dan mampu menghasilkan berbagai inovasi.
Keterampilan kedua yang menjadi fokus adalah keterampilan dalam menguasi media informasi dan teknologi. Trilling dan Fadel (2009: 65) menjelaskan bahwa keterampilan ini menghendaki siswa melek media , melek informasi, melek TIK. Keterampilan melek media mencakup kemampuan untuk menggunakan media sebagai sumber belajar dan menggunakan media sebagai alat untuk berkomunikasi, berkarya, dan berkreativitas. Keterampilan melek TIK mencakup kemampuan menggunakan TIK secara efektif baik sebagai alat penelitian, alat berkomunikasi dan alat evaluasi serta memahami benar kode etik penggunaan TIK.
Keterampilan ketiga harus menjadi tujuan adalah keterampilan kehidupan yang berkarier. Keterampilan ini mencakup keterampilan hidup dan berkarier secara fleksibel dan adaptif, berinisiatif dan mandiri, mampu berinteraksi social dan lintas budaya, produktif dan akuntabel, serta memiliki jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab. Keterampilan hidup dan berkarier secara fleksibel secara terperinci mencakup kemampuan mengolah saran yang diterima secara efektif, berpikir positif terhadap kritik, dan memahami perbedaan kepercayaan dan sudut pandang. keterampilan hidup dan berkarier secara adaptif melingkupi kemampuan beradaptasi dengan berbagai perubahan baik perubahan aturan, konteks, jadwal, tanggung jawab, serta mampu bekerja secara efektif dalam iklim ambiguitas dan perubahan prioritas.
Keterampilan berinisiatif dan mandiri merupakan keterampilan hidup dan berkarier yang membekali siswa agar kelak mampu bekerja penuh motivasi, penuh inisiatif dan mampu berdiri sendiri. Dalam prosesnya, siswa hendaknya dibina agar mampu mengatur dirinya sendiri dalam menguasai pengetahuan, menunjukkan inisiatif selama proses pembelajaran, memiliki komitmen belajar, dan mampu melakukan refleksi kritis atas pengalamannya belajar sebagai bekal baginya di masa yang akan dating.
Keterampilan berinteraksi sosial secara lintas budaya merupakan keterampilan berkehidupan dan berkarier yang penting. Menuntut mereka mampu berinteraksi secara baik, baik antara budaya maupun lintas budaya. Hal ini membekali siswa untuk berinteraksi secaara efektif dengan orang lain dan mampu bekerja dalam kelompok yang berbeda.
Keterampilan berkehidupan dan berkarier yang keempat adalah produktif dan akuntabel. Pendidikan hendaknya dilakukan dengan orientasi agar siswa mampu menunjukkan kemampuan mengelola proyek tertentu dari tahap perencanaan hingga tahap pengevaluasian dan menunjukkan berbagai atribut yang berhubungan dengan aktivitas produksi yang dilakukan baik dalam hal mengelola waktu, bekerja secara positif dan etis, mampu menyelesaikan banyak tugas, senantiasa berpartisipasi aktif dan akuntabel atas hasil yang dicapainya. Keterampilan berkehidupan dan berkarier yang terakhir adalah kepemimpinan dan tanggung jawab. Pembinaan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab dapat dilakukan melalui pembiasaan yakni melalui pemberian kesempatan kepada siswa untuk memandu dan memimpin teman-temannya selama proses pembelajaran atau diluar proses pembelajaran dan membiasakan siswa untuk peduli dengan teman-temannya yang memiliki minat, bakat dan potensi yang berbeda.
Namun demikian, seluruh keterampilan tersebut pada dasarnya tidak dapat berdiri sendiri tanpa media besar yang memayunginya. Wadah besar yang dapat memayungi seluruh keterampilan di atas adalah empat literasi dasar yaitu literasi membaca, literasi menulis, dan literasi berbahasa lisan, dan literasi informasi dan media digital (TIK).
d. Sistem Sosial/lingkungan
Sistem lingkungan belajar diharapkan adalah lingkungan yang kaya akan bahan literasi sebagai media dan bahan belajar serta kondusif bagi pelaksanaan kegiatan bermultiliterasi. Hal yang perlu ditekankan untuk menciptakan lingkungan kelas yang demikian adalah kesiapan, kesediaan, kreativitas, dan niat luhur guru dalam menciptakan generasi unggul di masa depan.
Oleh karenanya dewan guru, tenaga kependidikan, kepala sekolah, dan berbagai pihak lain yang berhubungan dengan sekolah hendaknya mendukung proses pembelajaran ini dan dengan niat tulus untuk bersumbangsih terhadap ketercapaian tujuan pembelajaran sesuai dengan kewajiban, kemampuan, dan peran serta tanggung jawabnya masing-masing.
e. Prinsip-prinsip reaksi
Pada prinsipnya ada tiga hal utama reaksi guru yang harus muncul dalam model pembelajaran multiliterasi yakni menghargai perbedaan siswa, mengayomi perbedaan gaya belajar, kecerdasan dan minat serta motivasi siswa, dan mengapresiasi segala bentuk kreativitas dan media representasi yang dihasilkan siswa. Selain ketiga reaksi utama masih ada reaksi lain yang harus diberikan yakni bahwa guru harus senantiasa membangkitkan semangat belajar, beraktivitas dan berkarya, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan produktif, membiasakan siswa bekerja secara kooperatif, kolaboratif, dan komunikatif, dan menjembatani siswa untuk melek terhadap berbagai hal baik terhadap informasi, teknologi, bidang ilmu yang dipelajari, maupun karakter, tata nilai dan moral.
Reaksi yang harus muncul pada diri siswa secara umum meliputi kemauan dan kemampuan untuk belajar, berpikir, berkativitas dan berkreatifitas, kesiapan untuk mengambil resiko, kesediaan untuk senantiasa berpikir terbuka, berpikir positif dan berpikir elaborative, kesiapan untuk beradaptasi, berkomunikasi, bekerja sama dan berkolaborasi dengan orang lain, kesanggupan untuk berlatih, mengembangkan diri dan membentuk dan mengembangkan perilaku belajar/berpikir dan perilaku berkehidupan/berkarakter, kesedian dan senantiasa memotivasi diri dan berefleksi dan tentu saja keberterimaan mendapatkan berbagai arahan, bimbingan dan panduan serta pembinaan dari guru, teman sejawat, dan pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran.
f. Karateristik dan prinsip pembelajaran multiliterasi
Karakteristik pembelajaran multiliterasi yang dikemukakan Olge, at al (2007) sebagai berikut: pembelajaran multiliterasi senantiasa menghubungkan materi yang dipelajari dengan apa yang telah siswa ketahui, pembelajaran multiliterasi senantiasa menghubungkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata dan isu-isu kontemporer, pembelajaran multiliterasi senantiasa melibatkan siswa untuk terlibat aktif dalam mengajukan pertanyaan dan membuat simpulan sendiri, pembelajaran multiliterasi memberikan banyak peluang untuk mempelajari materi pembelajaran secara mendalam sekaligus menyimpan pemahaman yang diperoleh dalam memori jangka panjang siswa, pembelajaran multiliterasi senantiasa menggunakan kerja kolaboratif dalam mengontruksi makna dan sudut pandang atas materi yang sedang dipelajari, pembelajaran multiliterasi melibatkan berbagai ragam belajar sebagai sarana mengontruksi pemahaman baru, pembelajaran multiliterasi melibatkan banyak strategi belajar.
g. Penerapan Model Pembelajaran Multiliterasi
Pembelajaran multuliterasi merupakan pembelajaran yang dikembangkan dengan berbasis kerja ilmiah. Oleh sebab itu, salah satu komponen dalam pembelajaran multiliterasi adalah siklus belajar atau siklus pembentukan makna. Siklus ini merupakan panduan bagi keterlaksanaan pembelajaran multiliterasi di dalam kelas. Morocco (2008, hlm. 27) menyebutkan tahapan siklus belajar dalam pembelajaran multiliterasi secara umum, yaitu:
1) Melibatkan
Pada tahap ini guru harus melibatkan siswa dalam pembelajaran melalui pembangkitan skemata atau pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. Kegiatan selanjutnya adalah siswa diajak untuk menghubungkan topik yang dibahas dengan diri siswa dengan tujuan agar siswa merasa mempelajari tersebut penting bagi dirinya. Kegiatan ketiga yang dilakukan pada tahap ini adalah siswa dibawah bimbingan guru membuat berbagai pertanyaan yang bersifat esensial yang akan dicari jawabannya melalui berbagai kerja inkuiri kritis pada tahap selanjutnya. Guna mempersiapkan siswa mengikuti langkah-langkah selanjutnya guru juga harus memaparkan aktivitas belajar yang akan siswa lakukan sekaligus memaparkan capaian aktivitas apa yang harus siswa hasilkan pada setiap tahapan aktivitas belajar tersebut.
2) Merespons
Pada tahap ini, siswa secara individu merespons seluruh tantangan belajar yang diberikan guru. Siswa secara aktif mulai melakukan berbagai penyelidikan, observasi ataupun kegiatan penelitian sederhana yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuatnya pada tahap pertama. Dalam tahap ini, siswa bisa saja menggunakan perpustakaan, lingkungan sekolah, atau media pembelajaran yang telah disediakan guru dalam rangka membuat jawaban sementara terhadap pertanyaan yang dibuatnya.
3) Elaborasi
Pada tahap ini, siswa mengelaborasi berbagai temuan individu dengan teman dalam kelompoknya. Bertemali dengan kegiatan elaborasi ini, pembelajaran multiliterasi bias dipadukan dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Proses elaborasi harus sampai menghasilkan ide-ide bersama yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan. Hasil kegiatan elaborasi ini dituangkan dalam laporan kelompok yang juga harus dimiliki oleh seluruh anggota kelompok.
4) Meninjau ulang
Pada tahap ini, draf laporan kelompok ditinjau ulang kebenarannya. Proses peninjauan ulang dapat dilakukan dengan melakukan pengecekan keakuratan hasil, jika seluruh isi telah diyakini ketepatanya, selanjutnya kelompok menunjuk perwakilan untuk memaparkan hasil kerja dan siswa lain dipersiapkan sebagai pencatat hasil diskusi kelas, perevisi hasil atas masukan kelas, dan juga tim yang bertugas mempertahankan atau mempertanggung-jawabkan isi laporan.
5) Mempresentasikan
Pada tahap ini perwakilan kelompok memaparkan hasil kerjanya di depan kelas. Pemaparan dilanjutkan diskusi kelas dan diakhiri dengan kegiatan peninjauan, penguatan dan pengembangan materi oleh guru.
h. Dampak-dampak instruksional dan pengiring
Model pembelajaran multiliterasi memiliki dampak instruksional, yaitu kepemilikan atas dan peningkatan keterampilan belajar, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai konsep, proses, dan sikap ilmiah disiplin ilmu yang sedang dipelajari, peningkatan dan pengembangan keterampilan multiliterasi dan karakter siswa.
Model pembelajaran multiliterasi memiliki dampak pengiring, yaitu berkembangnya keliterasian siswa terhadap keberagaman budaya, fenomena sosial, dan tuntutan global, Terbentuknya kecakapan hidup dan karier pada diri siswa, Terbentuknya kemandirian siswa dalam belajar, bekerja dan bekarya, Terbinanya kemampuan siswa dalam beradaptasi, berpikir terbuka, berpikir visioner, dan berpikir reflektif.
i. Sintaks model pembelajaran multiliterasi.
Model pembelajaran multiliterasi pada dasarnya adalah model pembelajaran yang mengoptimalkan keterampilan multiliterasi dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih baik menuju ketercapaian keterampilan belajar abad ke 21 (Abidin, 2015, hlm, 104). Keterampilan-keterampilan itu antara lain keterampilan literasi membaca, keterampilan literasi menulis, keterampilan literasi berbahasa lisan, dan keterampilan literasi informasi, media, dan komunikasi. Sejalan dengan paparan di atas, sintaks model pembelajaran multiliterasi pada dasarnya mengacu pada sintaks model-model pembelajaran literasi, baik literasi membaca, literasi menulis, maupun literasi bahasa lisan. Oleh sebab itu, sintaks dasar model pembelajaran multiliterasi terdiri atas tiga fase besar, yakni fase praaktivitas, fase aktivitas, fase pascaaktivitas.
a) Fase praaktivitas
Pada tahap ini siswa melakukan berbagai aktivitas persiapan belajar meliputi pengembangan skemata, membangun prediksi, membuat pemandu dan tujuan belajar, mangaitkan konteks yang akan dipelajari dirinya, kehidupannya, dan konteks lainya yang pernah dipelajari, menggunakan strategi menduga, merumuskan hipotesis, menemukan dan menetapkan berbagai sumber informasi, mengenal konsep, struktur dan fungsi media, menetapkan tema, topik, atau masalah yang akan dipelajari, membuat kerangka kerja, berpikir, ide, dan konsep, dan berbagai jenis aktivitas persiapan belajar lainnya (Abidin, 2015, hlm 105).
b) Fase aktivitas
Pada fase ini siswa melakukan berbagai aktivitas belajar. Aktivitas belajar yang dapat dilakukan siswa meliputi aktivitas membaca teks, menulis draf, menyampaikan ide dan gagasan secara lisan maupun tulisan, melakukan aktivitas observasi, penelitian, pengamatan, percobaan, dan kegiatan eksperimental lainya, beradu argument, bertukar pendapat dan ide, debat inisiasi,, menyunting tulisan, mengkaji, menganalisis, menginferensi, menyintesis, dan menyimpulkan informasi, menguji, menganalisis, dan mengkritisi informasi, dan atau fenomena sosial, menarik dan membangun makna, dan aktivitas belajar lainnya (Abidin, 2015, hlm 106).
c) Fase pascaaktivitas
Pada fase ini siswa melakukan berbagai aktivitas belajar yang mencerminkan keberhasilan proses belajar yang dilakukan. Beberapa aktivitas belajar yang dapat dilakukan pada fase meliputi aktivitas menguji pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan, memproduksi berbagai produk hasil belajar, mengomunikasikan karya akhir yang dibuat, menyajikan performa kerja sebagai hasil kegiatan belajar, mentransfer pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh pada konteks lain, menentukan rencana tindak lanjut belajar, menyelenggarakan kegiatan pameran karya dan berbagai aktivitas lainnya (Abidin, 2015, hlm 106).
j. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran multiliterasi
Model pembelajaran multiliterasi bertujuan untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kemampuan berpikir kritis siswa, pemahaman konseptual siswa, berpikir kreatif siswa, pemahaman konseptual, serta kolaboratif dan komunikatif antar siswa. Model pembelajaran multiliterasi dapat digunakan karena mampu mengembangkan dan mengoptimalkan kemampuan-kemampuan siswa dalam menghadapi pendidikan pada abad 21. Selain itu, juga dengan model pembelajaran ini dapat membiasakan siswa untuk menulis sesuatu yang memiliki nilai ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diutarakan oleh Abidin (2015, hlm. 64) yang mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis multiliterasi ini sangat bermanfaat dalam menciptakan kondisi pembelajaran yang berbasis inkuiri kritis dan sekaligus dapat mengembangkan penggunaan kemampuan multiliterasi siswa. Kekurangan model multiliterasi bahwa tidak semua siswa mempunyai kemampuan yang sama dan sulitnya mengubah kebiasaan siswa belajar ke arah belajar berfikir kritis, kreatif, dan produktif, dan membiasakan siswa dalam bekerja kooperatif, kolaboratif, dan komunikatif.
B. Ihwal Kecerdasan Intrapersonal
a. Hakikat Kecerdasan.
Manusia akan selalu melakukan kegiatan atau beraktivitas dalam kehidupannya. Aktivitas itu menuntut orang untuk berfikir menyelesaikan suatu persoalan. Cepat tidaknya persoalan itu terpecahkan tergantung kepada kemampuan kecerdasannya atau inteligensi. Ada beberapa definisi kecerdasan atau inteligensi yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Menurut Gardner (2003, hlm. 32) kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah, menemukan jawaban atas pertanyaan spesifik dan belajar material baru dengan cepat dan efesien. Kecerdasan atau intelligensi dimiliki oleh setiap manusia dan melalui kecerdasannya manusia mampu berpikir dan menghasilkan produk kreatif dan inovatif. Beberapa ahli mendeskripsikan kecerdasan seperti berikut. Menurut Santrock (2007, hlm. 317) kecerdasan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah dan beradaptasi serta belajar dari pengalaman. Sependapat dengan santrock, Gardner (Amstrong, 2013, hlm. 6) menyatakan bahwa kecerdasan lebih berkaitan dengan kapasitas/kemampuan untuk memecahkan masalah, dan menciptakan produk-produk dan karya dalam sebuah konteks yang kaya dan keadaan naturalistik.
Brainbridge (Yaumi 2012, hlm. 9) mendefinisikan kecerdasan mencakup kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru atau perubahan lingkungan saat ini, kemampuan untuk memahami ide-ide kompleks, kemampuan untuk berpikir produktif, musisi yang terkenal, pengkritik atau pengamat musik, pencipta lagu, konduktor dan lain sebagainya.
Dalam tujuan psikologi, Santrock (2007, hlm. 317) menyatakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan menyelesaikan masalah dan beradaptasi serta belajar dari pengalaman. Arifuddin (2010, hlm. 262-264) menghimpun beberapa kecerdasan dari para pakar antara lain super and cities (1962) yang dikutip oleh Dalyono (1996) mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar termasuk dengan manusia yang berada disekelilingnya serta mengambil hikmah dari segala peristiwa yang pernah dialami. Penyesuaian diri dan belajar dari pengalaman akan memberi kontribusi bagi kelangsungan hidup seseorang. Garret (1946) mengungkapkan bahwa kecerdasan paling tidak mencakup kemampuan yang diperlukan dalam pemecahan masalah yang umumnya memerlukan pemahaman dan penggunaan simbol tertentu. Kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah adalah ciri bahwa dia memiliki kecerdasan yang memadai.
Sementara itu, para ahli psikologi lebih memusatkan perhatian pada masalah prilaku kecerdasan daripada membicarakan batasan tentang kecerdasan, seperti yang dinyatakan oleh Uno (2010, hlm. 59) bahwa intellegensi dalam pandangan psikolog merupakan status mental yang tidak memerlukan Definisi, sedangkan prilaku intelegen lebih konkret batasan dan ciri-cirinya sehingga lebih mudah dipelajari. Oleh karena itu, Uno (2010, 59) memberikan ciri-ciri prilaku dengan kecerdasan tinggi yakni adanya kemampuan untuk memahami dan mneyelesaikan problem mental dengan cepat, kemampuan mengingat, kreativitas yang tinggi dan imajinasi yang berkembang. Budiningsih (2005, hlm. 113) menjelaskan bahwa kecerdasan merupakan suatu kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan dalam masyarakat tertentu.
Menurut Jasmine (2011, hlm. 11-12) teori kecerdasan majemuk adalah validasi tertinggi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting pemakaiannya dalam pendidikan sangat tergantung pada pengenalan, pengakuan dan penghargaan terhadap setiap atau berbagai cara siswa belajar. Teori kecerdasan majemuk tidak hanya mengakui perbedaan individual untuk tujuan praktis tetapi menganggap serta menerimanya sebagai suatu yang normal, wajar bahkan menarik dan sangat berharga. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Gardner (2003, hlm. 34) kecerdasan majemuk merupakan kecerdasan yang menyangkut kemampuan menyelesaikan masalah atau produk yang merupakan konsekuensi dalam suasana budaya atau masyarakat tertentu. Kecerdasan majemuk menginformasikan adanya lebih dari satu jenis kecerdasan yang dimiliki manusia.
Setelah mengetahui bahwa terdapat lebih dari satu kecerdasan strategi yang tepat bagi setiap orang dalam mengembangkan potensi dirinya adalah berupaya mengetahui jenis-jenis kecerdasan yang memberikan peluan terbesar untuk dikembangkan. Berikut ini jenis kecerdasan majemuk yang dikembangkan Gardner (Amstrong 2013, hlm. 6-7), yaitu: Kecerdasan verbal (Linguistic Intelligence), Kecerdasan logis matematis (Logical-mathematical Intelligence), Kecerdasan visual spasial (Visual-spatial intelligence), Kecerdasan kinestetik-jasmani (Bodily-kinesthetici intelligence), Kecerdasan Musikal (Musical intelligence), Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal intelligence), Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal intelligence), Kecerdasan Natural (Naturalist intelligence). Kecerdasan eksistensial (Existence intelligence)
Melalui konsepnya mengenai kecerdasan ganda (multiple intelligences) ini, Gardner mengoreksi keterbatasan cara berpikir yang konvensional mengenai kecerdasan dari tunggal menjadi jamak. Kecerdasan tidak terbatas pada kecerdasan intelektual yang diukur menggunakan beberapa tes intelegensi yang sempit saja atau sekedar melihat prestasi yang ditampilkan tetapi kecerdasan juga menggambarkan peserta didik pada bidang seni, spasial olahraga, berkomunikasi dan cinta akan lingkungan (Uno, 2010, hlm. 15).
b. Kecerdasan Intrapersonal
Lebih lanjut Gardner (2003, hlm. 24) menjelaskan bahwa kecerdasan intrapersonal, yaitu kemampuan yang berkaitan, tetapi mengarah ke dalam. Hal tersebut merupakan kemampuan membentuk model yang akurat, dapat dipercayai diri sendiri, dan mampu menggunakan model itu untuk beroperasi secara efektif dalam hidup. Kecerdasan intra-pribadi menggambarkan pengetahuan aspek-aspek internal meliputi akses pada merasa hidup dari diri sendiri, rentang emosi sendiri, kemampuan untuk mempengaruh diskriminasi di antara emosi-emosi ini dan pada akhirnya memberi label pada emosi itu dan menggunakannya sebagai cara untuk memahami dan menjadi pedoman tingkah laku sendiri.
Lwin, dkk (2008, hlm. 233) menjelaskan bahwa kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan mengenai diri sendiri. Kecerdasan ini adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Sedangkan Armstrong (2013, hlm. 7) berpendapat bahwa kecerdasan intrapersonal adalah pengetahuan diri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan pengetahuan itu. Kecerdasan ini termasuk memiliki gambaran yang akurat tentang diri sendiri (kekuatan dan keterbatasan seseorang); kesadaran terhadap suasana hati dan batin, maksud, motivasi, temperamen, dan keinginan; serta kemampuan untuk mendisiplinkan diri, pemahaman diri, dan harga diri.
Armstrong (2002, hlm. 5) juga menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan intrapribadi yang baik dapat dengan mudah mengakses perasaannya sendiri, membedakan berbagai macam keadaan emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya dan membimbing hidupnya.
c. Karakteristik Kecerdasan Intrapersonal
Setiap kecerdasan pasti memiliki ciri tersendiri yang menggambarkan karakter dari kecerdasan tersebut, akan tetapi perlu dicatat bahwa individu-individu mungkin tidak menunjukkan semua aspek dari inteligensi ini. Misalnya, seseorang dapat memiiki sebuah bayangan dalam dirinya yang akurat, tanpa penghargaan yang tinggi pada dirinya sendiri. Sedangkan lainnya, dapat menunjukkan kepuasan diri dan tidak berusaha keras untuk mengaktualisasikan dirinya. Campbell, dkk (2004: 203) menyebutkan ada 12 indikator seseorang dengan kecerdasan intrapersonal yaitu. sadar akan wilayah emosinya; menemukan cara-cara dan jalan keluar untuk mengekspresikan perasaan dan pemikirannya; mengembangkan model diri yang akurat; termotivasi untuk mengidentifikasi dan memperjuangkan tujuannya; membangun dan hidup dengan suatu sistem nilai etik (agama); bekerja mandiri; penasaran akan “pertanyaan besar” tentang makna kehidupan, relevansi, dan tujuannya; mengatur secara kontinu pembelajaran dan perkembangan tujuan personalnya; berusaha mencari dan memahami pengalaman “batinnya” sendiri; mendapatkan wawasan dalam kompleksitas diri dan eksistensi manusia; berusaha mengaktualisasikan diri; dan memberdayakan orang lain (memiliki tanggungjawab kemanusiaan).
Jika seorang individu menunjuk setengah atau lebih dari indikator tersebut, kemungkinan besar dia memiliki kecerdasan intrapersonal. Selain indikator di atas, Lwin, dkk (2008: 240) juga menyebutkan ciri-ciri lain yang menunjukkan individu yang memiliki kecerdasan intrapersonal, yaitu: menyadari tingkat perasaan atau emosinya; termotivasi sendiri dalam mengejar cita-citanya; dapat menertawakan kesalahannya sendiri dan belajar dari kesalahannya; mampu duduk sendirian dan belajar secara mandiri; memanfaatkan waktu berpikir dan merefleksikan apa yang dia lakukan dan senang bekerja sendiri; memiliki harga diri yang tinggi dan keyakinan diri yang tinggi; memiliki kendali diri yang baik (misalnya menghindarkan diri dari kemarahan tak terkendali); dan duduk sendirian beberapa saat untuk berkhayal dan merefleksikan diri.
Sementara itu, Izzaty, dkk (2003, hlm. 8-9) memaparkan beberapa indikator kecerdasan intrapersonal yaitu: berfantasi; menjelaskan tata nilai dan kepercayaan; mengenali dan mengontrol perasaan; Intropeksi; mengetahui kekuatan dan kelemahan diri; memotivasi diri; dan mempunyai tujuan hidup.
Armstrong (2008, hlm. 233) juga menjelaskan bahwa orang dengan kecerdasan intrapersonal yang tinggi selalu bersentuhan dengan pemikiran, gagasan, dan impian mereka juga memiliki kemampuan untuk mengarahkan emosi mereka sendiri sedemikian rupa untuk memperkaya dan membimbing kehidupan mereka sendiri. Orang-orang yang sangat cerdas secara intrapersonal mudah dibedakan dengan menilik keyakinan diri dan kemandirian mereka yang tinggi. Mereka adalah individu-individu yang termotivasi yang teguh dengan keputusan mereka dan mengambil pimpinan. Selain itu orang dengan kecerdasan intrapersonal yang tinggi akan memperlihatkan bahwa ia memiliki pengarahan diri dandanmenggunakannya untuk sasaran hidup. Tepatnya karakteristik inilah yang membuat mereka sangat berhasil. Akan tetapi, yang paling ekstrim, orang-orang yang berkecerdasan intrapersonal sangat tinggi ini mungkin sangat individualistis dan introvert.
Masterson (Armstrong, 2005, hlm. 118) juga menjelaskan bahwa diri sejati dalam kecerdasan intrapersonal mempunyai beberapa komponen diantaranya: kemampuan untuk mengalami berbagai perasaan secara mendalam dengan gairah, semangat, dan spontanitas; kemampuan bersikap tegas; pengakuan terhadap harga diri; kemampuan untuk meredakan perasaan sakit pada diri sendiri; mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk mempertahankan niat dalam pekerjaan maupun relasi; kemampuan untuk berkreasi dan berhubungan secara dekat; kemampuan untuk menyendiri.
Keterampilan kerja seseorang dengan kecerdasan intrapersonal, yaitu melaksanakan keputusan, bekerja sendiri, mempromosikan diri sendiri, menentukan sasaran, mencari sasaran, mengambil inisiatif, mengevaluasi, menilai, merencanakan, mengorganisasi, membedakan peluang, bermeditasi, dan memahami diri sendiri. Adapun contoh profesi orang dengan kecerdasan intrapersonal yaitu ahli psikologi, ulama, guru psikologi, ahli terapi, tenaga pembimbing dan penyuluhan, ahli teknologi, perencana program, pengusaha, dan lain-lain. (Armstrong, 2002, hlm.181).
d. Pentingnya Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal tidak hanya penting bagi mereka yang berjuang untuk menjadi pemimpin dan atasan, tetapi pada dasarnya penting bagi setiap orang yang ingin memiliki kendali atas kehidupannya dan karena itu mencapai keberhasilan dan keamanan. Dari sini lah, kecerdasan intrapersonal kadang-kadang dikenal sebagai kecerdasan penguasaan diri.
Lwin, dkk (2008, hlm. 234) menyebutkan ada 5 alasan mengapa cerdas diri penting bagi setiap orang, di antaranya: mengembangkan pemahaman yang kuat mengenai diri yang membimbingnya kepada kestabilan emosional, mengendalikan dan mengarahkan emosi, mengatur dan memotivasi diri, bertanggung jawab atas kehidupan diri sendiri, mengembangkan harga diri yang tinggi yang merupakan dasar bagi keberhasilan.
PENUTUP
Setiap siswa memiliki keunikannya masing-masing. Mereka memiliki kecerdasan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Kecerdasan intrapersonal adalah pengetahuan diri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan pengetahuan itu. Kecerdasan ini termasuk memiliki gambaran yang akurat tentang diri sendiri (kekuatan dan keterbatasan seseorang); kesadaran terhadap suasana hati dan batin, maksud, motivasi, temperamen, dan keinginan; serta kemampuan untuk mendisiplinkan diri, pemahaman diri, dan harga diri.
Model multiliterasi berbasis kecerdasan intrapersonal yang dikemukakan oleh beberapa ahli diharapkan mampu menjembatani proses pembelajaran yang membosankan menjadi suatu pengalaman belajar yang menyenangkan siswa. Selain itu, proses pendidikan dapat mengakomodir setiap kebutuhan siswa dan sesuai dengan keunikannya masing-masing.
Untuk melaksanakan proses pembelajaran agar tumbuh secara optimal, guru harus memperhatikan potensi yang dimiliki siswa, termasuk kecerdasan. Guru perlu menyadari bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa adalah berbeda-beda. Oleh karena itu, guru harus mampu mengemas setiap materi pembelajaran dengan menarik yang disertai dan sarat dengan pengetahuan yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan potensi yang ada pada siswa atau peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Cole (Eds.). Multiliteracies and technology enhanced ducation: sosial practice and the global classroom. New York: Information Science Reference (an imprint of IGI Global).
Campbell, Linda. et al. (2004). Metode praktis pembelajaran berbasis multiple intelligences. Jakarta: Intuisi Press
Abidin, Yunus. (2015). Pembelajaran multiliterasi (sebuah jawaban atas tantangan pendidikan abad ke-21 dalam konteks keindonesiaan). Bandung: PT.Refika Aditama
Armstrong, Thomas. (2002). Seven kinds of smart: menemukan dan meningkatkan kecerdasan anda berdasarkan teori multiple intelligences. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Amstrong Thomas. (2005). Setiap anak cerdas panduan membantu anak belajar dengan memanfaatkan multiple intelegence. Jakarta: Gramedia Utama.
Amstrong, Thomas. (2013). Kecerdasan multiple di dalam kelas. Jakarta: PT Indeks..
Baguley, Pullen, dan Short. (2010). Multiliteracies and the New World Order. Dalam Pullen & Jakarta: Intuisi Press.
Chatib,Munif. (2013). Sekolahnya manusia. Bandung: Kaifa.
Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences: kecerdasan majemuk teori dalam praktek. Batam: Interaksara..
Joyce, Bruce, dkk. (2009). Models of teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kist, William. (2005). New literacies in action: teaching and learning in multiple media. New York. Teachers College.
Lwin, May. et al. (2008). Cara Mengembangkan Berbagai Komponen Kecerdasan. Jakarta: Indeks.
Morocco, C C, et al. (2008).Supported literacy for adolescents: transforming teaching and content learning for the twenty-first century. San Francisco. A Wiley Imprint.
New London Group (1996)A pedagogy of multiliteracies: designing social futures. In B. Cope and M. Kalantzis (eds.) Multiliteracies:literacy learning and the design of social futures. South Yarra, VIC: Macmillan.
Sadulloh, Uyo. H. (2015). Pedagogik (ilmu mendidik). Bandung: Alfabeta.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak. Jakarta: Gramedia.
Trilling, B, Fadel, C. (2009). 21st Century skill: Learning for life in our times. San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.
Yaumi, M. (2012). Pembelajaran berbasis multiple intellegences. Jakarta: Dian Rakyat.
Demikianlah Jurnal : Model Multiliterasi Berbasis Kecerdasan Intrapersonal, semoga menambah wawasan ilmu, terimakasih
Posting Komentar untuk "Jurnal : Model Multiliterasi Berbasis Kecerdasan Intrapersonal"