Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Raja dan Ratu Buku

Cerpen:Raja dan Ratu Buku - Melangkah perlahan pada lorong sekolah dengan penuh penasaran. Tak mengira tampak terlihat rapi meja dan lemari kaca yang belum pernah kutemui. Beberapa asesoris yang harmonis melengkapi kerapian dan keindahan ruangan itu. 

Raja dan Ratu Buku
Walau tak tampak luas, lorong itu menggambarkan keberhasilan suatu sekolah yang membawa semangat siapa saja yang melewatinya untuk terus berproduktif dan kreatif. Tanpa kusadari sampailah aku pada lemari kaca yang penuh dengan penghargaan yang sepertinya sudah merasa sesak di dalamnya. 

Walau mereka bertumpuk, sorot mataku tertuju pada sebuah pelakat atau piala berwarna putih perak yang membedakan dengan penghargaan yang diraih oleh siswa sekolah lainnya. Piala itu sangat berharga bagiku, penghargaan itu mengubah hidupku menjadi pribadi yang lebih baik, berani, dan percaya diri. Tapi di balik  penghargaan itu ada seorang yang peduli padaku dari seorang sahabat teristimewa.

Pagi buta, pukul 03.30 WIB, 10 Februari 2006, waktu yang tak mau kuingat. Waktu yang sangat getir, saat terdengar suara jatuhan dan pecahan yang ada di dapur “Prakk..”. Dengan rasa penuh kekhawatiran, aku loncat dari tempat tidurku dan berteriak “Mak…” Kutemui mak sudah tergeletak dengan memegang dada yang sengal-sengal. “Tang, hari ini, Mak tak bisa buat kue, dada Mak sakit” dengan suara lirih. “Istirahatlah Mak, Esokkan masih bisa,” merangkul Mak ke kamarnya.  

Waktu terus berlalu, hari berganti hari dan bulan berganti bulan, semenjak pertama kali Mak berobat dan sampai waktu yang lama, keadaannya tidak berubah sediakala. Perasaanku sangat kalut. Aku yang dulunya sabar menjadi anak pemarah. 

Memang hidup kami penuh kesederhanaan, walau sederhana dengan adanya emak semua dapat tercukupi. Emak mengurusku dengan kasih sayang. Sedangkan bapak sudah lama meninggal.  Aku adalah anak laki-laki satu-satunya yang menjadi tumpuan hidup di saat tuanya. 

Peristiwa itu mengubah hidupku. Hidupku penuh dengan gaya kegelapan, liar, dan tak mau diatur. Di saat hati tak senang, Aku menikmati sebatang rokok kretek yang asapnya mengepul dan berbau menyengat. 

Padahal aku tahu merokok adalah tidak baik dikonsumsi seseorang, apalagi remaja yang masih berumur lima belas tahun, seperti aku ini. Tetapi hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk melepaskan semua bebanku. Di satu sisi, aku sangat bahagia dapat melepas beban hidup, tapi di sisi lain emak sangat sedih melihat kelakuanku.

Tanpa disadari ternyata Rara sudah lama berdiri di balik dinding kelas dan memperhatikan perbuatanku “Kamu ini kenapa sih?” terbelalak mataku dan penuh ketakutan saat Rara datang dan langsung merampas rokok yang sedang aku nikmati. Karena selama ini, aku menjauhkan diri dengan teman-teman baikku.

“Apa yang kau lakukan itu tidak baik untukmu!” perkataan Rara dengan nada sedikit marah.“Apa hakmu melarang-larang Aku, balikin tidak!” Tegasku tak mau kalah. 

Bukannya memberikan Rara malah membuang rokok itu ke tanah dan menginjak-injaknya. Rara meninggalkan tempat tanpa berkata dan tanpa rasa takut. Sebaliknya,  Aku hanya terdiam melihat keberanian Rara.

Rara sebenarnya teman lamaku. Kami berteman sejak sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai SMA pun sekolah yang sama. Kami bergonta-ganti dalam berprestasi.  

Kami memiliki hobi yang sama, yaitu membaca. Kami sering bertukar buku dan membaca bersama. Bahkan kami memiliki cita-cita yang sama yaitu menjadi penulis terkenal. Kami juga sering berkhayal menulis sebuah buku yang kami buat. Terkadang mengingat masa lalu itu, aku ingin ketawa sendiri.

Dring…Dring…bel berbunyi, menandakan jam istirahat yang dinanti pun tiba. Suasana yang tadinya hening berganti teriakan kegembiraan. Para murid pun berbondong-bondong keluar kelas masing-masing. Termasuk aku yang segera menemui rombongan teman-temanku.

“Bintang, yuk ke perpustakaan, ada informasi penting yang akan disampaikan ibu penjaga perpustakaan!” Ajak Rara kepadaku.“Kamu saja sendiri, aku ada urusan dengan teman-temanku!” Bintang dengan ketusnya menjawab. Aku pun pergi meninggalkannya sendiri di tengah-tengah keramaian.

Aku kembali ke rombongan teman-temanku, walaupun aku hanya diam seperti patung dan hanya mendengarkan sesuatu urusan yang tak sesuai dengan gaya hidupku. Sebab aku adalah anak yang tidak punya apa-apa sehingga tidak nyambung kalau diajak ngobrol bahkan seringkali dinyinyir. 

Tiba-tiba, terbersit perkataanku pada Rara. “Rara tak bersalah, seharusnya aku tidak berkata demikian dan meninggalkannya sendirian,” hati kecil Bintang bicara. Belakangan ini, aku sudah banyak bersikap buruk. 

Bukan hanya dengan Rara saja, tetapi juga semua orang bahkan Emakku yang sedang sakit dan butuh biaya. Aku rasa hidupku lepas kontrol. “Tang, kamu lagi mikirin apa?” Panggil Alan membuyarkan pikiranku.

“Oh tidak…aku tidak sedang mikirin apa-apa,” ujar Bintang.“Sudah…sudah, daripada suasana tegang begini bagaimana kalau kita kerjai si anak kacamata!” ujar salah satu temanku yang bernama Rico. Mendengar hal itu Aku pun terkejut sebab tidak ada seorang pun siswa yang berkacamata di sekolahku selain si Rara, tetapi aku hanya bisa menganggukkan bahwa aku setuju. 

Padahal hati kecilku berkata semoga tidak terjadi pada Rara. “Eh, itu dia anak kacamata!” Ujar Alan. Tidak salah lagi, mereka melihat Rara baru saja keluar dari perpustakaan. Dengan sengaja Rico mengulurkan kakinya dan Brukk! Rara pun tersandung dan terjatuh. 

Seketika saja, teman-teman yang ada di tempat kejadian itu tertawa dengan senangnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya diperlakukan seperti itu, tetapi apa boleh buat. Dring…Dring…bel berbunyi menghentikan keriuhan tawa mereka dan melanjutkan kegiatan belajar mengajar. 

Siang ini cuaca sangat berbeda, terik matahari terasa menggigit membuat para siswa ingin cepat sampai ke rumah. Tiba-tiba saja, Rara sudah berada di hadapanku. Menyerahkan pamflet lomba menulis yang diselenggarakan oleh perpustakaan kota dengan tajuk Raja dan Ratu Buku. “Mungkin dengan mengikuti lomba ini awal kita atau kamu mengaktualisasi kemampuan sebagai penulis, Bintang, kamu tidak boleh seperti ini terus, kamu harus berubah, aku yakin kamu bisa berubah seperti dulu lagi!” ujar Rara dengan penuh semangat.

Aku pun pergi meninggalkan Rara. Cuaca yang tadinya panas berubah drastis menjadi mendung yang disertai hujan lebat. Ku hentikan langkahku pada sebuah bengkel tua yang tak beraktifitas lagi. Di pelataran bengkel, dengan kursi kayu yang reot aku melamun dalam derasnya hujan. 

Di kepalaku terlintas peristiwa kelam yang kuperbuat yang seharusnya tak kulakukan. Aku merasa bersalah kepada emak, membuat sedih emak, melukai hatinya. Tiba-tiba sebuah mobil berkecepatan tidak wajar memuncratkan genangan air ke arahku sehingga membasahi seluruh tubuhku dan mengembalikan kesadaranku.  

Karena sudah terlanjur basah, akhirnya aku berlari kencang untuk segera sampai ke rumah dan meminta maaf kepada emak. Beban yang selama ini kupelihara, akhirnya lenyap, setelah emak memaafkanku dengan ikhlas. Dipeluknya aku dengan penuh sedih kebahagiaan. 

Perasaan itu tak akan terulang kembali dalam waktu yang lama kalau pun terjadi itu adalah tindakan yang bodoh. Dengan semangat yang sudah kembali, aku segera membuka tas dan mengambil pamflet yang diberikan Rara padaku. 

Kubaca baik-baik ketentuan syarat yang harus dipenuhi. Dengan mengernyitkan dahi lalu merebahkan tubuh. “Mustahil…saya bisa, tinggal dua hari lagi dan harus diketik,”ujar Bintang sedikit menghela nafas. “Aku harus bertemu Rara, bisik Bintang.

Keesokan harinya, sejak istirahat, tak terlihat sosok perempuan dengan kacamatanya itu. “Rara dimana kamu?” Bintang berlari meninggalkan kantin dan menuju perpustakaan. Dengan nafas sedikit tersengal, didapatinya Rara yang sedang duduk dan ditemani laptop pribadinya. “Saya sudah lama menunggumu, Tang,” sahut Rara dengan senyum manisnya. 

Bintang tersipu malu, “Maafkan Aku, Ra. “Aku takkan membahas kenapa dan bagaimana persoalanmu, Tang.”Lupakan saja peristiwa yang lalu dan kita bahas yang sekarang,” jawab Rara dengan semangat. “Hmm..Aku sudah tahu masalahnya, Tang, lihatlah ringkasan novel ini, ujar Rara. 

“Apa…” Bintang keheranan. “Waktunya sudah sempit dan harus kita selesaikan hari ini, Tang,” sahut Rara, dengan memberikan printnan ringkasan novel kepada Bintang. Kaget bukan kepalang, “Inikan Supernova, Ayu Utami.” 

“Iya, itu novel yang tak asing bagi kita, bahkan isi ceritanya sudah hafal luar kepala,” Rara tertawa bahagia. “Kenapa bukan kau saja yang ikut, Rara,” kata Bintang. “Aku tak bisa, aku kurang percaya diri untuk mempresentasikan isi novel ini,” jawab Rara. “Terimakasih, Ra, Aku Takkan membuang kesempatan ini.”

Selepas bel pulang sekolah, Bintang menuju ke perpustakaan kota untuk mengembalikan ringkasan cerita yang sudah dibuat. “Ditunggu panggilannya, ya. Nomor telepon apa sudah dituliskan,” sahut petugas perpustakaan kota.    Bintang kebingungan karena dia tidak punya telepon. “Ok, diamplopnya sudah ada, terimakasih,” sahut petugas.

Hampir satu bulan berlalu, kabar pengumuman belum juga ada. Dan yang menjadi aku tak begitu gembira adalah Rara yang tidak pernah kelihatan selama itu juga. Banyak berita berkembang bahwa Rara pindah sekolah dan ada lagi yang mengatakan bahwa dia sakit. 

Karena kedua berita ini belum jelas kebenarannya akhirnya saya mendatangi walikelas Xa, Ibu Fadmini. Setelah mendengar cerita itu betapa hancur hatiku. Selama ini Rara berhasil menutupi penderitaannya dari teman-teman. “Aku banyak berbuat salah padanya, Aku harus menemuinya,” hati Bintang berbisik.

Tak selang berapa lama, setelah jam pulang sekolah, aku tepat berada di depan pagar rumah Rara. Sesosok perempuan separuh baya membuka kunci pagar dan mengijinkanku masuk ke dalam rumahnya sambil bebicara, “Kamu, Bintang.” “Betul,” jawab Bintang. “Kamu seringkali dibicarakan oleh Rara,” sambil mengusap matanya yang berkaca-kaca. “Dimana dia, Bu?”

“Duduklah dulu, Ibu ke belakang.” Mata ini menyoroti sekeliling rumah yang cukup besar itu. Terdapat foto keluarga yang tenteram dan damai. Tiba-tiba ibu Rara kembali dengan membawa tas kecil yang sudah dipersiapkan oleh Rara. “Itu milikmu, pesan dari Rara.” “Ibu belum menjawab pertanyaanku, dimana Rara.” 

Bintang memegang erat tas yang diberikan tadi. Bukan senyuman manis yang kudapatkan melainkan berita duka. “Rara sudah meninggalkan kita, dia menahan sakit kanker pada matanya yang berkepanjangan.” Mendengar perkataan ibu Rara membuat lidahku keluh tak dapat bicara, mata ini bahkan kutahan hingga berkaca-kaca. 

Sesampai di rumah, Aku tak bisa menahan tangis. “Dia sudah tahu waktunya sudah sedikit, dia sudah mempersiapkannya dengan baik,” berbisik dalam pelukan emak yang sudah mulai membaik kesehatannya. Hanya tas ini merupakan peninggalannya untukku yang harus kujaga. 

Saat dibuka ternyata di dalamnya terdapat dua barang berharga milik Rara, yaitu handphone dan laptop. Saat membuka laptop itu dan melihat isinya, terselip file yang bernama Bintang. Aku pun segera membuka file itu dan membaca isi yang tertulis. 

Bercucur deras air mata ini saat kata-kata terakhir yang diucapnya, kata-kata yang sungguh megubahku. Tiba-tiba bunyi HP menghentikan suasana syahdu itu. Aku angkat nomor asing itu. 

Di balik semua kesedihan yang datang muncul berita yang membahagiakan. Ternyata apa yang menjadikan harapan kami pun terwujud, lomba menulis yang kami ikuti mendapatkan nominasi untuk mengikuti presentasi. Kepercayaan yang diberikan Rara ternyata tak menghianati hasil. 

Aku dengan penuh semangat berhasil mempresentasikan dengan baik dan memperoleh juara pertama dalam ajang Raja dan Ratu Buku. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, aku akan bisa sampai ke titik ini. Berkat sebuah harapan dari seorang sahabat teristimewa Aku bisa menjadi penulis terkenal. Aku usap air mata bahagia saat Kepala sekolah Ibu Fadmini memberikan waktu yang luas untuk memberikan motivasi kepada siswanya  agar semangat mengejar impian sampai ke ujung dunia sekalipun.

Demikianlah Cerpen:Raja dan Ratu Buku, semoga terhibur dan bisa dipetik pesan yang terkandung di dalamnya.

Posting Komentar untuk "Raja dan Ratu Buku"