Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Artikel : Filsafat Umum

Filsafat Umum

Artikel : Filsafat Umum

A. Konsep Filsafat 

Artikel : Filsafat Umum - Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.

Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.

Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian, filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).

Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog. Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:

1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.

2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.

3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.

4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.

5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat. 

Plato (427 - 348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382 - 322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106 - 043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.

Menurut Descartes (1596 - 1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724 - 1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4 persoalan:

a. Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika.

b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk dalam bidang etika.

c. Sampai di manakah harapan kita? Jawabannya termasuk pada bidang agama.

d. Apakah yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.

Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:

1. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.

2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.

3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.

Sir Isac Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki ketiga karakteristik ini. Ada banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan, yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai. “Ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betulbetul terang”.

Munculnya Filsafat

Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentarkomentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.

Klasifikasi Filsafat

Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Islam.

a. Filsafat Barat

Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat). Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas), (c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).

Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:

1. Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.

2. Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman inderawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan yang khusus.

3. Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: res extensa dan res copgitans.

b. Filsafat Timur

Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bias dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Namanama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.

Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001). 

c. Filsafat Islam

Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani). Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 - 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 - 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam (Haerudin, 2003).

Majid Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. 

Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.

B. Sejarah Perkembanngan Aliran Filsafat

Filsafat barat kuno (Hellenisme) mencari archè; “asal” atau “induk” kosmos, mulai dari air, atom, hingga angka. Filsafat abad 6 SM-4M ini mencari “yang ilahi”; Plato menyebutnya “idea kebaikan” dan Aristoteles pada “sebab dari dirinya sendiri” dalam bentuk yang kosmosentris.

Abad Pertengahan, filsafat didominasi Gereja Katolik pada abad 4 - 15 M, Allah sebagai sumber pengetahuan teosentris; Allah sangat dijunjung dan manusia hanya cerminan-Nya saja. Aspek “yang ilahi” tidak lagi abstrak, melainkan konkret dalam Allah yang berkepribadian. Hal ini memicu frustrasi ketika hirarkhi Allah-manusia serta dominasi gereja terlalu kuat. Penemuan mesiu, mesin cetak, dan kompas juga memperluas pemikiran; manusia bukan hanya patuh, tapi ia sendiri berpikir. Siapapun mampu mengembangkan pengetahuan, bukan terus disuapi Gereja.

Pertentangan dominasi Gereja Katolik mendorong Renaissance (Zaman Barok) yang berarti kelahiran kembali. Pemikiran abad 15-17 M ini ditandai ide antroposentris dalam rasionalisme; manusia adalah pusat kenyataan dengan membangkitkan subjektivitas manusia dan meninggalkan objektivitas Gereja. R. Descartes adalah bapak filsafat modern yang menyangsikan segala sesuatu hingga berkesimpulan bahwa; “segalanya saya ragukan, tapi saya yang meragukan tidak bisa saya ragukan”. Melalui pendalaman substansi, Descartes melihat subjektivitas pikiran manusia dalam Cogito, ergo sum. B. Spinoza juga rasionalis yang menekankan sisi mistik interpretasi Allah dan alam sebagai satu substansi sehingga Allah adalah kosmos itu sendiri. Ia menyajikan kebahagiaan sebagai tujuan etika dengan bebas dari gerak emosional dan penekanan pada pengetahuan inderawi, akal budi, dan intuisi. G.W. Leibniz bertumpu pada monadologi; kenyataan terdiri dari monade-monade (bagian-bagian) substansi kesadaran. Allah sebagai kesadaran tertinggi dan manusia dengan kesadaran tinggi. Keduanya tidak bertentangan namun dinamis pada cogitatio (pikiran) dan perceptio (pengamatan) sekaligus appetitus (kehendak). Rasionalis dikritik B. Pascal dengan logika hati terkait intuisi irasional yang lebih penting dari akal, ketika manusia terbentur keterbatasan akal maka ia menuju pada iman yang irasional dan intuitif.

Rasionalisme ditentang Empiris zaman Enlightenment (Zaman Fajar Budi) terkait keutamaan pengalaman indrawi. G. Berkeley melihat spiritualitas pengetahuan; ada jika diamati, bahwa melihat benda sejauh kita amati. J. Locke melihat pengalaman indrawi membentuk rasio dengan bertumpu pada pengalaman lahiriah dan batiniah. D. Hume cenderung skeptis atas segala sesuatunya dan menganggap kesadaran manusia hanyalah impressions. J.J. Rousseau membicarakan kontrak sosial yang berbasis pada kehendak umum dan penekanan pada perasaan romantis. I. Kant menekankan rasio (apriori) dan empiris (aposteriori), bahwa benda ada; bukan cuma sebagai benda, namun juga jika menjadi gejala pengamatan. Ia memadukan rasionalisme dan empirisme dalam sintesis yang nanti terpecah menjadi idealisme dan positivisme.

Filsafat Zaman Romantik berangkat dari pemikiran Kant pada ke”ada”an manusia itu sendiri. J.G. Fichte melihat epistemologi filsafat dalam idealisme subjektif; objek-objek yang “digejalakan” mengarah pada ke”aku”an manusia itu sendiri. F.W.J. von Schelling menekankan idealisme objektif; meskipun subjektif, tapi manusia dan alam itu bebas berkehendak, itulah yang utama dan objektif. G.W.F. Hegel adalah idealis mutlak; segalanya dapat diketahui dengan tesis-antitesis-sintetis. Dengan melihat bahwa keyakinan ide adalah kenyataan, Hegel menyejajarkan rasio dengan realitas dan berpikir dengan ada. Kenyataannya, Hegel tidak mampu menjawab semuanya dan malah lalu menjadi titik tolak filsafat lain, yaitu eksistensialisme, positivisme, materialisme, materialisme dialektis, dan berbagai aliran “neo” seperti NeoKantianisme dan NeoSkolastik.

C. Deskripsi Berupa Gambaran atau Pemetaan


Artikel : Filsafat Umum

Artikel : Filsafat Umum

Terimakasih telah membaca Artikel : Filsafat Umum, semoga bermanfaat dan menambah informasi.














































Posting Komentar untuk "Artikel : Filsafat Umum"