Cerpen : Bintang
Cerpen : Bintang - Namanya adalah Bintang. Ia adalah salah satu dari sekian anak didikku. Aku mengenalnya dua minggu yang lalu. Saat dipindah tugaskan ke sekolah ini. Kepala sekolah memperkenalkan Bintang sebagai murid yang baik dan disiplin dalam mengerjakan tugas.
Pertama kali aku melihatnya tak ada yang special darinya. Namun senyumnya yang manis dan jabatan tangannya yang ramah membuktikan bahwa dia termasuk anak yang cukup ramah. Selain itu, wajah Bintang terasa tak asing bagiku. Entah di mana, aku selalu tak berhasil mengingatnya.
Ternyata Bintang tak seperti yang aku pikirkan. Murid yang baik dan sangat ramah itu mempunyai keterbelakangan. Sudah banyak guru yang putus asa mengajari murid yang satu ini.
Ia juga sudah berapa kali tinggal kelas. Dan bahkan ia pernah hampir dikeluarkan. Memang seharusnya ia disekolahkan di sekolah khusus, yaitu SLB. Namun karena biaya yang tidak memadai dan letaknya yang terbilang jauh, tentu tidak memungkinkan ia bisa sekolah di sana.
Kesulitannya dalam belajar dan umurnya yang tidak sesuai dengan kelas yang didudukinya sekarang membuatnya tidak memiliki teman dan menjadi bahan cemooh oleh teman serta guru-guru. Namun selama ini aku tak pernah melihatnya merajuk atau pun mendendam. “Eh, Bu Karin, susah tidak mengajar murid yang bernama Bintang itu?” Bu Ira menghampiriku.
“Hm…memang agak sedikit sulit sih Bu.” Jawabku singkat. “Bukan agak sulit lagi Bu”itu sih memang udah gak bisa diajari!”Ujar Bu Ira ketus. Sepertinya sekolah ini mempunyai satu kebiasaan buruk. Yaitu sering menggunjing masalah dibanding mencari jalan keluarnya.
Padahal seharusnya tugas guru bukan hanya memberi materi pelajaran, tetapi juga harus bertanggung jawab atas moral anak didiknya. “Sebaiknya Ibu menyerah saja untuk mengajari Si Bintang itu!”lanju Bu Ira menghentikan lamunanku. “Bintang itu mempunyai prilaku ramah, disiplin, dan juga pantang menyerah. Mungkin saja jika ia berusaha lebih keras, bukan tidak mungkin ia bisa lulus dari sekolah ini dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.”
“Bu Karin, Bu Karin…tidak usah menghayal terlalu tinggi deh Bu. Otak Bintang itu sudah seperti mesin yang sudah berkarat. Jadi mana mungkin dia bisa lulus dari sekolah ini!” Potong Bu Ira ketus.
Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak terasa gatal. Bu Ira beranjak pergi sambil tersenyum, tetapi senyuman itu lebih terlihat seperti seringaian. Setelah berbincang-bincang dengan Bu Ira tadi, aku terus terpikir oleh Bintang.
Bayangan Bintang melintas di depan mataku. Sosok laki-laki polos dan lugu yang harus menghadapi kerasnya dunia. Tak ada yang mampu mengerti dia selain dirinya sendiri.
Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya? Aku tak bisa menemukan seseorang yang bisa memberiku informasi tentang bintang. Sepertinya aku harus melakukan penyelidikan sendiri.
Sepulang sekolah aku meminta Bintang untuk mengantarku menemui ibunya, setelah seminggu terakhir ini aku melakukan pendekatan intensif padanya. Tidak terlalu berlebihan jika aku ingin menemui ibunya lagi pula aku adalah gurunya dan sepertinya ia sendiri tidak keberatan. Selama diperjalanan, selalu saja ada orang yang mengejek Bintang. Ku lirik Bintang sesekali, namun tidak ada raut kebencian yang terlihat di wajahnya.
Langkah kakinya terhenti di depan sebuah rumah sederhana yang terlihat bersih dan rapi. “Assalamualaikum” ujarku member salam. “Waalaikum salam” terdengar jawaban dari dalam rumah. Setelah menunggu beberapa saat terlihat seorang wanita membukakan pintu.
Tampak semua barang bersih dan tertata rapi. Walaupun hanya duduk beralaskan tikar anyaman rasanya sangat tenang dan sejuk. “Ada apa Bu?” Apakah Bintang membuat masalah di sekolah” Tanya wanita itu yang ternyata adalah ibu Bintang.
“Oh tidak Bu. Saya kemari hanya ingin menanyakan beberapa hal kepada ibu, apakah boleh Bu?” “Oh tentu saja Bu. Apa yang saya bisa bantu akan saya lakukan.” “Em begini Bu, saya selaku guru Bintang merasa prihatin dengan Bintang. Saya tidak tega melihatnya terus-menerus dihina oleh teman-temannya.
Apakah Ibu bisa menceritakan apa yang sedang terjadi dengan Bintang?” Ibu Bintang hanya diam dan tak lama kemudian ia mulai membuka mulutnya. “Sebenarnya dulu dia adalah anak yang rajin. Dia cerdas, tetapi …” “Tetapi apa Bu” Tanyaku tak sabar.
“Ia mengalami kecelakaan maut dan mengalami gegar otak. Saat itulah ia lupa segalanya. Bahkan ia lupa nama dan keluarganya sendiri.” Tiba-tiba ibu Bintang menghetikan kata-katanya. Matanya pun mulai mengeluarkan Kristal-kristal bening. Ada sesal yang menambati hatiku.
Tiba-tiba aku merasa bersalah karena telah membuka luka lama Ibu Bintang. “Maafkan saya, saya tidak bermaksud membuat ibu mengingat masa-masa itu” ucapku setelah diam beberapa saat. “Tidak apa-apa Bu, lagi pula ini semua demi Bintang.”
Setelah mendengar pernyataan dari Ibu Bintang, aku dapat menyimpulkan sesuatu bahwa Bintang bukanlah orang yang bodoh. Ia bisa saja menerima pelajaran, namun harus dengan kesabaran. Itu mungkin bukan hal yang mudah bagiku. Tetapi aku percaya, Bintang pasti bisa.
Teng!teng!...
Bel tanda jam sekolah berakhir berdentang empat kali. Semua penghuni sekolah berhamburan keluar. Kesunyian pun berubah menjadi riuh. “Ada apa Bu?” Tanya Bintang saat ku panggil ke perpustakaan.
“Maaf ibu memanggilmu saat jam pulang, ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan.” “Tidak apa-apa bu, apa yang ingin ibu sampaikan?” “Bintang, selama ini kamu sering dihina, diledek, dan difitna oleh orang lain.
Kamu juga sering tinggal kelas, anak-anak seusiamu banyak yang putus sekolah dan lebih memilih bekerja. Ibu salut dengan ketabahan dan sikap pantang menyerahmu tiu. Tetapi apa yang membuatmu tetap bertahan seperti ini.” Ia tersenyum.
“Saya juga tidak tahu bu. Saya hanya berpikir saya ingin menggapai impian saya dan membahagiakan orang tua saya. Saya tidak peduli orang bilang apa. Saya ingin menunjukkan pada mereka suatu saat saya juga bisa seperti mereka.”
Aku terdiam, tidak bisa berkata-kata. Aku tak percaya kata-kata itu keluar dari mulut Bintang. Orang yang selalu dihina, orang yang terlihat sangat bodoh. “Apa impianmu itu Bintang?”tanyaku antusias. “Masuk SMP favorit Bu.” Ucapnya lantang.
Aku terbelalak. Mungkin sebagian besar orang, masuk SMP favorit bukanlah hal yang patut diimpikan, bahkan banyak yang menyia-nyiakannya. Butuh perjuangan besar untuk bisa mewujudkannya.
“Namun menurut ibu, apakah mungkin saya bisa?”tanyanya menghamburkan lamunanku. “Kamu ini bagaimana Bintang?tidak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha” “Tapi bu, selama ini saya selalu gagal”, ujarnya melemah.
“Kamu harus percaya. Kalau kamu ingin lulus dan masuk SMP favorit, kamu harus berusaha lebih keras.” Ia pun haya terdiam. “Bagaimana kalau mulai besok kamu les tambahan dengan ibusepulang sekolah?” “Bearan Bu?” Tanyanya tak percaya.
“Iya…” jawabku sambil tersenyum. “Kalau begitu saya merasa yakin bisa mengikuti UN!”terimakasih Bu”ujarya sambil meninggalkanku. Sudah satu bulan aku memberikan les tembahan kepada Bintang, memang menguras tenaga, tetapi sudah terlihat peningkatan yang terjadi pada Bintang.
Nilai-nilainya pun sudah mulai meningkat. Guru-guru pun tidak percaya melihat nilai-nilai tryout Bintang. Ledekan dan hinaan yang sering menghampiri Bintang pun mulai berangsur hilang. Bintang pun mulai membuka diri dan bergaul. Senyuman lebar pun seringkali menghiasi wajahnya.
Besok adalah hari besar bagi Bintang yaitu hari pertama ujian nasioal. Bintang sempat takut dan gugup. Namun akhirnya, ia mulai membiasakan diri. Rasa senang bercampur haru menyatu menjadi satu saat melihat Bintang mengerjakan soal ujian nasional. Kadang aku senyum sendiri mengingat perjuangannya.
Hari ini adalah hari yang palingditunggu oleh peserta ujian termasuk Bintang. Hari ini pengumuman kelulusan. Semua orang yang hadir menatap Bintang dan ibunya. Penantian selama bertahun-tahun terbayarkan, hari ini ia lulus.
Tangis haru menyelimuti ruangan itu. Bintang yang sudah diyakini tidak bisa lulus dari sekolah dasar lulus dengan nilai yang baik. Pak Bambang dan Bu Ira pun tidak menyangka Bintang bisa lulus dengan nilai aslinya sendiri. Namun di hari yang bahagia ini, aku harus pergi. Aku dipanggil ke sekolah lamaku.
Walaupun aku tidak bisa melihatnya memakai celana biru, walaupun aku tidak bisamelihatnya berlari pergi ke sekolah barunya. Tetapi, aku tetap senang walau hanya dengan melihat tawa bahagianya. Sebelum pergi Bintang bertanya kepadaku.
“Bu sekarang impianku sudah tercapai. Setelah ini apa yang harus aku lakukan?’ Aku tersesnyum mendengar pertanyaannya. “Mungkin ini adalah hal terbaik yang harus dilakukan, yaitu mencari impian baru.” Ia berbalik tersenyum padaku
Aku menatapnya lurus-lurus sekarang tak ada lagi raut muka sedih yang terlukis diwajahnya. Hanya ada senyuman manis yang sekarang menemaninya. Terasa baru kemarin aku megenalnya. Anak yang selama iniaku didik dengan kesabaran dan keiklasan telah mejadi anak yang mandiri. Semoga kau dapat menggapai impianmu yang selanjutnya.
Posting Komentar untuk "Cerpen : Bintang"