Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerita Rakyat Belitung Timur : Legenda Danau Beras

Cerita Rakyat Belitung Timur : Legenda Danau Beras

Cerita Rakyat Belitung Timur : Legenda Danau Beras - Jangkar Asam merupakan sebuah nama desa di kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Jangkar Asam tak asing di telinga penduduk Pulau Belitung. Namun begitu, mereka belum banyak mengetahui bahwa desa ini memiliki keistimewaan yang luar biasa. 

Keistimewaan desa ini berasal dari  letak geografisnya yang dikelilingi oleh lima buah gunung. Gunung-gunung itu adalah Gunung Keliling, Gunung Pedas, Gunung Lumut, Gunung Antel, dan Gunung Guda. Kelima gunung itu bagaikan tembok yang dibangun untuk melindungi Desa Jangkar Asam dari berbagai ancaman bahaya. 

Gunung-gunung yang ada di sekitar desa, bukanlah gunung aktif yang suatu saat akan menghamburkan kebahayaan bagi mahluk hidup, namun sebaliknya wilayah yang di kelilingi kelima gunung itu membawa kemakmuran. Karena letaknya begitu strategis, desa ini menawarkan kenangan yang tak terlupakan dan menyimpan kekayaan yang melimpah. Kekayaan berupa  sumber daya alam yang belum banyak tereksplore dan hubungan manusia dengan alam yang begitu selaras  menjadikan suasana damai bagi kehidupan di desa. 

Kehidupan masyarakat desa yang sederhana dan terikat dengan alam menjadikan mereka sebagian besar bermatapencarian sebagai petani. Tanah yang subur dan lahan yang begitu luas dimanfaatkan oleh mereka menanam lada, palawija, dan sawit. Tanaman-tanaman ini tak lekang ditelan jaman. 

Dari hasil yang diperoleh itu, masyarakat tidak lupa mensyukuri atas semua nikmat yang datangnya dari Maha Pencipta. Oleh karenanya, secara turun temurun, muncul dan berkembang suatu tradisi yang bernama Maras Taun. Dalam tradisi itu, Maras mempunyai pengertian kegiatan membersihkan duri kecil yang terdapat pada tanaman. 

Sedangkan Taun mempunyai arti Tahun. Upacara Maras Taun ini terkait erat dengan ladang berpindah yang dalam bahasa Belitongnya disebut ume. Untuk berladang atau berume, seseorang selalu berhubungan dengan dukun kampong. 

Dari dukun kampong tersebut, memunculkan suatu kisah yang menarik dari tanah Jangkar Asam yang khususnya berhubungan dengan pertanian. Suatu kisah yang turun-temurun keluar dari lisan kakek nenek. Salah satu cerita itu terjadi di Padang Purang yang merupakan daerah bagian dari Desa Jangkar Asam dan cerita tersebut menjadi buah bibir pada masyarakat Jangkar Asam khususnya. 

Konon dikisahkan daerah yang bernama Padang Purang memiliki tanah yang sangat subur. Saking suburnya, Padang Purang yang terletak sebelah timur Desa Jangkar Asam ini merupakan lumbung padi pada masa kejayaannya, Namun, hubungan antara kesuburan tanah dan asal usul terbentuknya sebuah danau di Padang Purang bukanlah muncul begitu saja, melainkan disebabkan oleh suatu hal. Agar tidak memuculkan pertanyaan dari pembaca yang semakin penasaran atas cerita tersebut. Berikut penulis sajikan sebuah cerita yang berjudul “Legenda Danau Beras”.  

Pagi itu begitu cerah, teriknya mentari sampai menusuk pembuluh darah. Kencangnya hembusan angin mengibas lalang, merobohkan dahan-dahan tua, hingga menyapu kain yang membalut tubuh kurus dari beberapa orang tua yang sedang menelusuri jalanan terjal. Terlihat jelas dari kerongkongan mereka, rasa haus yang tertahan sedari pagi buta demi mencari secanting beras di ladang Tuk Medang. 

Tuk Medang adalah orang yang kaya. Walau kaya, dia adalah orang yang baik dan bersahaja. Maka dari itu, orang seperti Kik Sirap dan empat kepala keluarga lainya seperti Kik Jemat, Kik Rahi, Kik Simpai, dan Kulup Bedeng harus berjalan puluhan kilometer dari Padang Purang menuju ladang Tuk Medang yang berada di bawah Gunung Guda (Jangkar Asam saat ini). 

Semua yang mereka lakukan semata-mata untuk keberlangsungan hidup keluarga mereka. Di lain sisi, mereka secara turun temurun sudah bekerja kepada Tuk Medang. Sikap yang baik dan bersahaja dari Tuk Medang menjadikan mereka betah bekerja lama.

Kik Sirap dan empat kepala keluarga tak bisa berbuat banyak, selain bekerja dengan Tuk Medang. Hidup yang serba kekurangan mengakibatkan tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh mereka. Apalagi musim panas yang berkepanjangan membuat wilayah Padang Purang kering kerontang. 

Hewan ternak yang dipelihara mati kekurangan air dan makan.  Di sela perjalanan,  Kik Jemat berseloroh, “Tak haus, Rap, sedari tadi Ku perhatikan tubuhmu bergetar.” Rombongan beramai-ramai menertawai Kik Sirap. 

Kik Sirap merupakan orang yang dihormati karena Kik Sirap dianggap seperti orang tua mereka. Selain dianggap orang yang dituakan, Kik Sirap adalah orang yang paling lama bekerja kepada Tuk Medang sehingga mereka menganggap Kik Sirap sebagai ketua rombongan dalam perjalanan. Mendengar perkataan Kik Jemat, akhirnya dengan senyum pahit, Kik Sirap menghentikan langkahnya untuk beristirahat sejenak. 

Kik Sirap mencari posisi yang nyaman untuk menghela letih pada sebuah pohon besar yang usianya tak jauh berbeda dengan dirinya. Kulup Bedeng dengan sigap menyerahkan bekal ala kadarnya kepada mertuanya, Kik Sirap. Hubungan kekerabatan ini dikarenakan Kulub Bedeng menikahi Dayang Kuncit, anak perempuan dari Kik Sirap. 

Seorang perempuan yang dikaruniai kecantikan luar biasa di kampungnya, Padang Purang. Namun, sikap yang dimiliki berbeda dengan apa yang dinginkan orang tua umumnya. Dayang Kuncit memiliki perilaku semena-mena terhadap orang lain. 

Sehingga masyarakat tak menyukai perangai Dayang Kuncit. Di lain pihak, Kulub Bedeng merupakan mantu yang disukai, Kulup Bedeng suka bekerja dan juga pendiam. Hal itu terlihat sejak dalam perjalanan, dia sangat setia mendengar mertuanya. Apapun yang dikatakan mertua dan orang yang lebih tua darinya, Kulup Bedeng tak pernah menolak.

Waktu seperti barang mewah, tak ayal mereka harus kembali bergerak. Padahal baru beberapa menit mereka melepas lelah. Kik Rahi yang mudah terlelap, tiba-tiba kaget bukan kepalang, saat kaki Kik Sirap menendang badannya yang gembur, seraya berkata, “Bangun, Rahi, begitu mudahnya kau tertidur.” 

Sambil mengucek-ngucek matanya, Kik Rahi tertawa. Kik Simpai pun segera meraih tangan Kik Rahi untuk segera berdiri. Di sisi lain, Kulub Bedeng begitu cekatan membereskan bawaan mereka untuk bersegera melanjutkan perjalanan. 

Perjalanan yang begitu melelahkan itu berakhir pada suatu persimpangan yang memisahkan Kik Sirap dan keempat rekannya. Perpisahan  dikarenakan Tuk Medang memiliki lahan yang tersebar di Desa Jangkar Asam sehingga Kik Sirap yang dianggap sudah terlalu tua diberi keringanan oleh majikannya untuk bekerja pada lahan yang berdekatan dengan rumah Tuk Medang sedangkan empat keluarga lainnya harus berjalan kembali dengan jarak yang lebih jauh lagi dari tempat tinggal Tuk Medang (sekarang daerahnya bernama Lidun). Sebelum berpisah, Kik Sirap selalu berpesan kepada mereka,”Kita akan bertemu di simpang ini, jangan ada yang tertinggal.”  

Akhirnya, sampailah mereka di tempat kerja masing-masing. Keempat orang itu segera mempersiapkan diri untuk bekerja. Sebelum melangkahkan kaki ke tanah ladang, Kulub Bedeng menyaksikan pergelutan dari perbincangan ketiga kakik tersebut. 

Terlihat jelas pada raut wajah mereka, wajah yang penuh kekhawatiran dan kekecewaan yang mendalam. Kulub Bedeng   berusaha mendengar pembicaraan ketiga orang kakik  itu. “Entah apa yang sedang dipikirkan dan bicarakan oleh mereka,” gumam Kulub Bedeng. 

Namun begitu, Kulub Bedeng tetap menyibukan diri dengan perlengkapan ladangnya. Parang dan cangkul sudah terpasang di pinggang dan lengan kanannya yang kekar. Dengan cekatan, dia melompat ke tanah ladang. 

Perasaan campur aduk Kulub Bedeng akhirnya terjawab juga, saat dia berada di tengah ladang. Ketiga orang kakik yang sedari tadi belum beranjak dari tempatnya berteriak bersamaan, “Lup…tunggu dulu, segera ke sini sejenak!” Kulub Bedeng terheran dan segera menghampiri ketiga orang kakik tadi. 

“Apakah Kau tak memperhatikan sekelilingmu,” sahut Kik Simpai. “Ada apa Kik, apakah ada yang aneh? Sedari tadi dan dalam pengelihatanku tidak ada yang aneh, lihat saja hamparan padi yang menguning, cuaca yang bersahabat,” timpal Kulub Bedeng. 

“Lihatlah dengan saksama, Lub,” jawab Kik Simpai sambil menunjukkan segenggam padi yang sudah menguning kepada Kulub Bedeng. Dengan perasaan yang terheran-heran, diambillah padi yang ada pada genggaman Kik Simpai dengan santun. Kulub Bedeng begitu serius dan saksama memperhatikan bulir-buliran padi yang ada pada genggamannya. Dengan terheran-heran Kulub Bedeng bergumam sendiri, “Apanya yang berbeda? Buliran ini sama seperti biasa, gendut-gendut.” 

Saat Kulub Bedeng hendak menimpali apa yang telah dilihatnya itu pada ketiga kakik, tiba-tiba dari arah belakang terdengar dentuman yang keras. Suara keras itu dikuti cuaca yang tiba-tiba berubah menjadi gelap bak badai yang hendak menerjang apa saja yang dilaluinya. Keempat manusia tadi kocar-kacir mencari perlindungan. Tepat di sebuah pondok kecil yang berbalut kulit kayu, mereka saling memandang dan saling berlindung. 

Pada saat itulah, Kulub Bedeng baru menyadari bahwa bulir padi yang sedari tadi digenggam kuat hancur tak berisi. Dengan wajah pucat pasi, Kulub Bedeng tampak bingung di hadapan ketiga kakik itu. Mereka hanya bisa terdiam membisu dan hanya bisa berdoa agar badai cepat berlalu. Di dalam suasana mencekam itu, secara bersamaan, mereka mengucapkan nama “Kik Sirap.” 

Di lain tempat, di kediaman Tuk Medang, Kik Sirap begitu perihatin terhadap majikannya itu. Sebab sedari pagi, tampak raut wajah majikannya begitu berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hari itu perangainya begitu gusar dan tampak marah sekali. 

Kik Sirap dan para pekerja lainnya tak berani menatap bahkan mendekatinya. Majikan mereka begitu tergesa-gesa, sesekali dia menghempaskan padi yang ada di genggamannya. Bergumam dalam hati Kik Sirap, “Musim panen pada tahun kedua ini, tampak lebih buruk tampaknya.” 

Peristiwa gagal panen itu tentu saja tidak bisa diterima majikannya. Sebab untuk kesekian kalinya, harapan yang bersumber dari pertanian berupa padi gagal tak berjejak. Dengan gagal panen tersebut, para pekerja terliputi rasa kekhawatiran terhadap keluarga mereka. 

Dari kebingungan para pekerja dan Kik Sirap, mereka dikejutkan dengan teriakan majikannya,“Tuk Sembuluk, Kau.” Teriakan itu menghentikan langkah dan tangan seluruh pekerja termasuk Kik Sirap. Tiba-tiba dari lumbung penyimpanan makanan terlihat ambung padi terbang merusak atap dan melintasi di atas kepala mereka dan jatuh entah kemana. Jatuhan ambung padi itu mengeluarkan dentuman keras yang didengar oleh keempat keluarga tadi.  

Setelah melampiaskan kemarahannya, Tuk Medang menemui Kik Sirap dan para pegawainya. “Pulanglah kalian, tidak ada lagi yang bisa kalian cari di tempatku,” ujar Tuk Medang sambil berlalu dari wajah mereka. Namun begitu, masih saja ada yang enggan untuk meninggalkan rumah majikannya karena kesetiaan. 

Kik Sirap yang sudah terlalu tua dan tidak sekuat dulu merasa sedih untuk meninggalkan kediaman majikannya itu. Kenangan yang sudah tercipta sirna di masa tua. Dengan berjalan tertatih, Kik Sirap melangkah pergi, “Tidak ada lagi yang bisa kuperjuangkan untuk keluargaku,” ucap Kik sirap dengan tersedu-sedu.

Cuaca masih belum bersahabat, guruh masih bersautan bersama dengan derai rintis  hujan, harapan kecil Kik Sirap bersusah payah menemui keempat kerabatnya itu. Padahal saat itu belum saatnya mereka bertemu, bekerja pun baru separuh hari. Keempat orang itu meratapi kegelisahan dengan melihat kepalsuan yang ada di hadapan mereka. 

Sumber kehidupan yang takkan pernah hadir. Di sela kegelisahan, Kik Simpai berkeluh, “Apa ini yang diinginkan Yang Maha Kuasa?” “Maafkan isteriku, suamimu tak bisa memenuhi apa yang kau mau,” sahut Kulub Bedeng. Kik Rahi terkekeh mendengar mereka. “Kamu sih enak Rahi, tak ada yang kau urus selain perutmu yang gendut,” ledek Kik Jemat. 

Tingkah laku dari Kik Rahi dan Kik Jemat membuat suasana yang serius menjadi pecah dengan canda tawa. Tak selang beberapa lama, dari kejauhan mata memandang, tampak seluet orang yang sedang menembus hujan. “Siapa itu?” sahut Kik Jemat. Keempat orang itu bergegas berdiri memandang dan menyambut sosok itu. 

“Kik Sirap,” teriak Kulub Bedeng dan bersegera lari menuju mertuanya itu. Diikuti ketiga kakik yang sedari tadi menemaninya. Suasana bahagia, setelah berkumpulnya orang yang dicintai. Tetapi di balik kebahagiaan, terdapat berita yang tak enak untuk didengar.

Kik Sirap dan keempat saudaranya kembali ke pondok. Keempat saudara sekampung itu memberi kesempatan Kik Sirap melepas lelah setelah berjalan jauh. Di sela-sela beristirahat itu, Kik Sirap mulai bercerita tentang apa yang sudah dilihat dan dialaminya itu. 

Begitu serius mereka mendengar cerita Kik Sirap. “Ternyata peristiwa yang aneh hari ini berhubungan erat dengan apa yang telah kau ceritakan Sirap,” ujar Kik Simpai. “Hmm,” Kik Sirap menarik nafas dalam. “Tidak hanya itu Pai, majikan kita juga meninggalkan pesan,” ujar Kik Sirap. 

Sampai pada akhirnya, keempat temannya itu tertunduk lesuh saat pesan terakhir majikan diberitahukan oleh Kik Sirap. “Tidak ada lagi yang bisa kita kerjakan,” balas Jemat. Suasana hening dalam kebisuan yang penuh dengan ketakutan. Ketakutan untuk mengarungi hidup ke depan. 

Mengingat daerah  tempat tinggal tak bisa diharap banyak. Apalagi badan yang sudah rentah tak kuat memikul harapan. Tiba-tiba, terdengar dan tercium bau yang kurang mengenakan di antara mereka. 

Suasana itu menimbulkan gelak tawa. “Apa yang kau makan Rahi,” Ujar Sirap. Ketegangan berpikir menjadi lunak karena Kik Rahi yang senang sekali membuat lelucon. “Apapun yang akan terjadi, kita pikirkan saat di rumah, ayo kita bersiap untuk pulang!” ujar Kik Sirap.

Walau tak membawa apa-apa dari hasil bekerja, mereka berlima begitu bahagia. Sebab mereka sudah terbiasa hidup susah. Kesusahan dan tawa mereka disambut oleh raja siang yang mencoba menembus awan hitam yang sedari tadi menguasai langit. 

Bergeraklah mereka meninggalkan majikan yang sudah berusaha semampunya demi kepentingan orang banyak. Dalam perjalanan itu, mereka banyak menemui kondisi jalan yang berbeda dari sebelumnya. Mereka harus lebih berhati-hati karena banyak pohon-pohon yang bertumbangan, tanah-tanah terbawa air menimbun jalan pulang ke rumah, bahkan banyak genangan air yang membentuk aliran sungai baru. 

Itu semua menjadikan waktu kembali ke kampung halaman lebih lama lagi. “Hati-hati, tak usah terburu-buru,”sahut Kik Jemat yang sedari tadi memperhatikan Kik Sirap. Dengan cekatan Kulub Bedeng menggandeng dan memapah mertuanya itu. Setelah menempuh perjalanan jauh dan melewati hambatan berliku, mereka berlima sampailah di kampung Padang Purang.

Tidak ada sambutan bak orang-orang tersohor. Kampung terlihat sepi. Orang-orang tampak tak berani keluar. Biasanya anak-anak kecil berlari dan bermain dengan riang di depan rumah mereka, umak-umak ngobrol dan bercanda di bawah kaki rumah mereka. Ternyata cuaca yang ekstrim sampai di kampung mereka. Kulub Bedeng pun bersegera menemui Dayang Kuncit, isterinya itu. Dengan lari kecil, dia meninggalkan mertuanya. “Dek…, Abang pulang,”teriak Kulub Bedeng. Bukannya bahagia suaminya pulang, Dayang Kuncit berperangai kesal melihat suaminya pulang tak membawa apa-apa. “Apa yang Abang bawa? Tidak ada makanan Bang,” ucap Dayang Kuncit kesal. “Pelankan suaramu Dek, nanti bapakmu akan mencceritakan semuanya,”jawab Kulub Bedeng lembut. Keempat kakik yang sedari tadi belum masuk ke rumah, memantau keadaan sekeliling kampungnya yang tidak seberapa luas. Jejak-jejak kerusakan akibat kemurkaan alampun jelas di wajah mereka. Sebuah kawah telah terbentuk tidak jauh dari kediaman mereka. Kerusakan yang diakibatkan benda asing itu tidaklah sampai merusak hunian mereka. “Sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing, hari sudah semakin gelap, esok pagi kita kembali lagi,” nasihat Kik Sirap.

Kebetulan saat itu, Kulub Bedeng dan Dayang Kuncit masih menumpang dengan mertua, bapak dari Dayang Kuncit, Kik Sirap. Dengan manja, anak kesayangannya bergelendotan kepada bapaknya, Sirap. “Pak, suamiku jahat, tak membawa apa-apa untuk dimakan,” bisik Dayang kuncit kepada bapaknya. 

“Kulub, tolong ambil mengkawak asap di bawah,” Kik Sirap berkata kepada mantunya dengan santun. Kulub pun hanya bisa mengiyakan, padahal di bawah tidak ada apa-apa. Dengan terpaksa, Kulub Bedeng keluar untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan lauk buat isterinya. 

Sembari menunggu mantunya mencari sesuatu di luar. Kik Sirap mengajak anaknya untuk menemaninya makan. Anak dan bapak pun menikmati makanan seadanya itu, sampai Dayang Kuncit pun terlelap.  

Malam itu begitu gelap tak ada cahaya yang dihantarkan rembulan, tapi Kulub Bedeng terus mengendap-endap di bawah dan belakang rumah mencari sesuatu yang tersesat. Kulub Bedeng bukanlah manusia yang suka mengingkari janji dan dia juga hanya manusia biasa yang mempunyai kelemahan, hari ini begitu gelap gulita dan dingin, Kulub Bedeng tak bisa menahan kantuknya. Saat akan terhanyut dalam tidurnya, Kulub Bedeng hanya bisa berharap bahwa esok isterinya lupa akan permintaan semalam serta tak lupa dia berdoa esok merupakan hari yang baik untuk bekerja. 

Keadaan semakin sunyi, tidak ada pergerakan dan suara mahluk malam yang biasanya terjaga. Semua penduduk betul-betul terlelap dalam keletihan mendalam. Di balik kesunyian, tangan Pencipta menggerakkan keagungannya pada benih-benih padi yang berceceran akibat dari ledakan ambung milik Tuk Medang. 

Dalam waktu yang singkat, tanah yang tidak produktif itu berubah menjadi hamparan hijau yang menyejukan mata. Dalam sekejap hamparan hijau itu mengeluarkan bulir-bulir keemasan. Nikmatnya istirahat yang begitu panjang, terusik oleh cahaya mentari yang menggigit kulit tak berkain menyusup melalui celah-celah bilik bambu dan kulit kayu rumah di Padang Purang yang tak seberapa banyak. 

Kik Sirap dan ketiga teman akrabnya beserta sanak saudara beranjak dari pembaringan menyambut pagi yang cerah. Angin sepoy tak mau kalah menawarkan kesegaran aroma terapi dari alam yang bersih. Aroma itu sampai kepada penciuman seluruh anggota masyarakat di Padang Purang. Penciuman itu begitu asing terutama bagi yang tidak bekerja di lahan pertanian seperti anak-anak dan ibu-ibu. 

“Harum sekali, bau apa ini?” ucap Dayang Kuncit. “Brak…”Pintu di buka kencang oleh Dayang Kuncit. Ternyata sudah banyak orang berkerumun di halaman rumah mereka. Orang-orang terheran-heran menyaksikan hamparan padi dengan bulir-bulir keemasan. 

Mereka begitu bahagia dan bercakap-cakap dengan penuh semangat. “Kulub….,”teriak Dayang Kuncit. Kulub Bedeng yang sedari tadi celingak-celinguk memperhatikan tanaman padi. Dengan cekatan, Kulub Bedeng melesat ke hadapan isterinya. “Ada apa, Dek,” jawab Kulub Bedeng. Kulub Bedeng merasa khawatir jikalau isterinya menagih mengkawak asap. 

Tiba-tiba dari belakang Dayang Kuncit, muncul perawakan yang dihormati di kampung, yaitu Kik Sirap. “Saudara-saudaraku, dengarkanlah, Tuhan telah memberikan kampung kita keberkahan yang luar biasa, berupa padi di tanah yang kurang subur ini. Padi yang tumbuh dimanfaatkanlah dengan bijak, sebab masa ini masa prihatin yang harus kita semua jalani. 

Majikan kita, Tuk Medang tidak bisa lagi memperkerjakan orang-orang seperti kita. Untuk itu dengan adanya anugrah Pencipta, mari kita bersama-sama memelihara pemberiannya,” Sepatah dua kata yang disampaikan Kik Sirap. Warga sepakat apa yang disampaikan Kik Sirap. 

Setelah mendengar perkataan orang yang dihormati itu, mereka berbondong-bondong ke ladang yang banyak ditumbuhi padi tersebut. Mereka tak kenal lelah mengurus dan merawat tanaman itu. Dengan kemampuan Kik Jemat, Kik Simpai, Kik Rahi, dan Kulub Bedeng, tanaman padi itu menjadi lebih terawat. 

Kemampuan itu tentu saja didapat sejak mereka bekerja di ladang Tuk Medang. Namun, mereka menyadari bahwa tanah mereka bukanlah tanah yang baik untuk ditanami padi-padian. Apalagi di musim panas ini, sumber air mengalami kekeringan sedangkan tanaman ini membutuhkan pengairan yang cukup. 

Dengan keahlian dan pengalaman yang dibilang cukup dalam merawat tanaman itu, mereka dengan pelan-pelan membagikan ilmunya kepada pemuda dan pemudi kampung, baik kecil maupun dewasa. “Semoga panen pertama ini berlimpah, ya Jemat,” tanya Kik Simpai. “Semoga saja,” Kik Rahi berseloroh dengan memetik padi yang telah siap dipanen. 

Dia ingin memastikan padi tersebut berisi buliran-buliran beras.   “Hmm…,” Kik Raih menarik nafas panjang. “Ada apa, Raih? Apa yang Kau pikirkan?” bisik Jemat. Kik Raih tersenyum dan berujar, “Syukurlah, padi yang akan kita panen tidak seburuk padi majikan kita, kalaupun sama yang penting kita bisa memberi makan keluarga kita.” Mereka pun melanjutkan pengawasan terhadap tanaman mereka dan acap kali membantu membersihkan padi dari semak-semak yang mulai meninggi. 

Di sela membersihkan semak-semak, mertua Kulub Bedeng berkata, “Pergilah Lub, carilah lauk untuk isterimu.” Kulub Bedeng tersentak mendengar perkataan mertuanya. Kulub Bedeng bergumam dalam hati, “Astaga mengkawak.” “Baik, Kik,” jawab Kulub Bedeng melangkah dengan cepat menuju rawa-rawa kering yang terbasahi hujan semalam.

Dalam perjalan itu, Kulub Bedeng melirik ke kanan ke kiri berusaha mencari endapan tanah yang tergenang air. Tanpa disadari, Kulub Bedeng melihat aliran air kecil yang mengalir dan bersumber dari rimbunnya tanaman padi. Dengan jalan yang begitu berhati-hati agar tanaman padi yang siap panen tidak rusak terijak, Kulub Bedeng menemukan sumber mata air yang membentuk aliran. 

“Apa yang terjadi?” sahutnya. Kulub Bedeng terperangah dengan adanya kawah yang tak begitu besar tersembunyi di sekitaran tanaman padi. Dengan berhati-hati, Kulub Bedeng mengitari kawah tersebut. “Apa itu?” ucapnya. 

Sebuah benda yang tak asing di mata Kulub Bedeng. Benda tersebut biasa terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk bulat seperti ambung, sebuah wadah untuk menampung rumput atau padi di kala panen. Kulub Bedeng merasa ada sesuatu yang aneh dan berusaha mendekati keberadaan ambung tersebut. 

Saat hendak meraih ambung tersebut, kaki Kulub Bedeng menyentuh sesuatu yang bergerak cepat dan licin. Mata Kulub Bedeng teralihkan oleh benda yang bergerak tersebut dan melupakan keberadaan ambung tersebut. “Keli,” teriak Kulub Bedeng dengan senangnya. 

Kulub Bedeng dengan lincah meloncat dan menangkap ikan tersebut. “Awas, kau, kena kau,” ucap Kulub Bedeng. Tak seberapa lama, Kulub Bedeng telah mengumpulkan tiga ekor keli yang lumayan besar untuk dibawa pulang.  

Saat sedang asyik-asyiknya menangkap keli, terdengar sayup-sayup suara Dayang Kuncit memanggil-manggil suaminya. “Abang…dimana kamu?” Suara khas Dayang Kuncit tak pernah Kulub Bedeng lupa. Dengan segera, dia menyelesaikan urusannya dan segera menemui isteri tercinta. 

Di hadapan Dayang Kuncit, Kulub Bedeng melihat gesture isterinya begitu tidak menyenangkan. Tampak gunung api yang hendak memuntahkan laharnya yang kelewat sesak. “Kemana saja Abang seharian, apa tak ada yang dikerjakan,”ketus Dayang Kuncit. Tanpa menunggu kata-kata kasar yang keluar dari isterinya yang manja, Kulub menunjukkan hasil tangkapannya hari itu. 

Mengetahui hal itu, Dayang Kuncit tampak menahan senyum, “Ayo pulang,” ucapnya. Percakapan dan pertemuan suami dan isteri itu mengakhiri rasa bahagia hari itu. Burung-burung kembali ke sangkar menanda senja mengakhiri fajar. 

Sebangsa jangkrik dan keluang serta mahluk malam sejenis lainnya keluar dari peraduannya. Mereka mencari dan mengais makanan yang masih tersisa untuk mengisi perut yang kosong. Dalam letih dan bahagia, orang-orang menemui tempat yang nyaman untuk menenangkan pikiran dan menghimpun kembali tenaga dari kesusahan yang selalu hinggap. 

Dalam kesunyian dan ketenangan malam itu, entah mengapa Kik Sirap tetap terjaga. Sesekali, dia memandang langit yang begitu terang dengan kerlap-kerlip bintang utara, lalu melirik rumah teman-temannya yang mengibaskan bayangan masa lalu, kemudian dia kembali ke dalam rumah memaksa diri untuk beristirahat.

Masa berpetualang dalam dunia khayal terusik dengan suara merdu jantan bertaji dari kejauhan. Kepulan-kepulan asap dapur yang beraroma menandakan isteri-isteri siap menjamu dan menghantarkan suami-suami mencari rejeki. “Hari ini begitu cerah,”ujar Kik Jemat kepada Kik Rahi dan Kik Simpai. “Ayo, kita segera ke Rumah Sirap,” balas Simpai. 

Mereka menuju rumah Sirap dengan wajah yang penuh semangat. Sesampai di kediaman temannya itu, mereka menyaksikan suasana yang tak seperti biasanya. Rumah Sirap masih tertutup bagai tak berpenghuni. 

“Tok..tok…Rap…,” Simpai mengetok dan memanggil sahabatnya itu. Tak berapa lama, keluarlah Kulub Bedeng menyapa mereka bertiga dan mempersilakan masuk. Betapa kaget mereka mendapatkan Kik Sirap dalam kondisi terbaring tak bergerak. 

“Mendekatlah, saudaraku,” ucap Kik Sirap dengan lirih. Pada saat mereka mendekat terjadilah percakapan serius di antara mereka. Sedangkan Kulub Bedeng dan isterinya hanya bisa mendengar dan tak berani mengganggu. 

“Sirap…Kau sudah kami anggap sebagai keluarga, kau adalah orang yang kami hormati, jadi persoalan tanggung jawab memetik urusan kami dan menyimpan kami serahkan kepadamu,” jawab Simpai. “Kalaupun kau sakit, ada Kulub Bedeng yang bisa membantumu,” timpal Rahi.  “Iya, Pak, ada suamiku,” Dayang Kuncit berseloroh. 

Kulub Bedeng hanya terdiam malu sedangkan pembicaraan terhenti sejenak. “Betul, Rap,” Jemat menambahkan. Setelah memikirkan atas semua usulan teman-temannya itu, Perundingan itu akhirnya disetujui oleh Sirap. Setelah pembicaraan itu, Mereka mensegerakan ke ladang  dan memanen untuk pertama kalinya.

Dengan hati yang gembira, cucuran keringat yang membasahi kulit dan rasa haus pada kerongkongan tak dihiraukan. Semua dikerjakan dengan semangat dan ikhlas. Saat sedang asyik-asyiknya memanen, Kik Rahi terkejut dengan apa yang ada dihadapannya yaitu ambung yang di bawahnya terdapat sumber mata air kecil yang terus mengalir. 

“Simpai, kesini sebentar!” teriak Rahi. Kulub Bedeng dan Jemat mengikuti dari belakang. Sesampai di depan benda itu, mereka saling melirik. 

“Coba kau angkat, Lub!” ujar Simpai. Dengan sekuat tenaga, Kulub Bedeng menerima tantangan itu. “Dbuk..” Kulub Bedeng terjatuh. Melihat itu, Rahi tertawa, “Hhhhhh…badan kekar tak menjamin.” 

Rahi pun mencoba mengeluarkan kekuatannya. Dengan wajah memerah dan tubuh gembur yang  tak berkutik, Kik Rahi menyerah. “Terbuat dari apa barang ini,” ketusnya. 

Melihat ketidakmampuan kedua orang berbadan besar itu, Simpai dan Jemat tak berani mengangkat benda itu. “Ayo, kita angkat bersama-sama,” ujar Simpai. Keempat orang itu akhirnya memasang kuda-kuda untuk mengangkat benda itu. 

Apa daya benda itu tak beralih dari tempatnya. “Ya sudah, kita lanjutkan kerjaan kita,” ujar Simpai. Mereka akhirnya pergi meninggalkan benda itu dengan membawa perasaan heran. 

Di hari ketiga, mereka sudah menyelesaikan semua pemetikan dan mengolah padi menjadi beras. “Hmm…terimakasih Tuhan, Kau telah mempercayai ini semua kepada kami,” ucap Sirap dengan helaan nafas saat menyaksikan hasil panen untuk pertama kalinya. Walaupun beras yang dihasilkan tidak sebagus tanaman yang tumbuh, mereka tetap besyukur kepada Yang Maha Pencipta. 

Dengan kepemimpinan Sirap yang sedang sakit, dia dibantu Kulub Bedeng mengatur cara menyimpan dan pendistribusian beras kepada teman-temannya dengan adil. Di samping itu, Sirap meminta teman-temannya untuk melakukan doa bersama sebagai tanda bersyukur. Di sela acara, satu dari ketiga temannya, Simpai berceletuk, “Kapan waktu yang tepat, untuk kita bertanam lagi.” 

Mereka saling bertatapan. Sirap yang sudah pengalaman menjawab, “Kulub sudah memisah benih untuk persemaian, sedangkan lahan baiknya saat musim penghujan dilakukan penggarapan.” 

Setelah melakukan doa di rumah Kik Sirap, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan membawa seambung beras untuk dijadikan makanan di rumah. Tentu saja hasil yang diperoleh hari itu membuat keluarga akan tidur nyenyak dan tidak ada kekhawatiran akan kelaparan. Sedangkan kelebihan dari panen di simpan di tempat aman oleh Kulub Bedeng. 

Kelebihan yang disimpan untuk mencegah jikalau ada peceklik di kemudian hari. Saat ini, jauh dari pikiran mereka mengingat paceklik yang terjadi pada saat sekarang. Mereka saat ini sedang menikmati perut yang akan terus kenyang. Sehingga mereka terlelap dalam ketidaksusahan.

Saat, mereka sedang terlelap. Tangan Yang Maha Pencipta kembali bekerja menumbuh kembali tanaman padi yang sudah di tebas. Lahan tersebut kembali menghijau sedia kala seperti tidak terjadi apa-apa. 

Kik Sirap yang selalu terjaga di tengah malam merasakan kehadiran yang luar biasa, tanpa tertahan lagi, air mata telah  membasahi pipinya.  Tentu saja, air mata yang mengalir itu adalah air mata rasa bahagia bahwa Sang Pencipta memberikan keberkahan bagi kampungnya. Dengan peristiwa yang kedua ini, Kik sirap dalam sakitnya memikirkan bagaimana menjelaskan kepada sahabat dan keluarga mereka. 

Dalam usaha mencari penjelasan itu, dia tidak sengaja membangunkan Kulub Bedeng. Tanpa ada perintah, Kulub Bedeng sudah berada di hadapan mertuanya itu. “Kulub, anakku, tolong temui ketiga kakik dan suruh mereka menemui saya sekarang,” ucap mertuanya dengan lirih. 

“Baik,”jawab Kulub Bedeng. Saat menuruni tangga rumah, tanpa melihat sekeliling yang aneh, Kulub Bedeng telah sampai di ketiga rumah kakik Jemat, Simpai, dan Rahi yang tentu saja tidak berjauhan. Tak begitu lama, mereka sudah sampai di rumah Sirap. 

Sirap pun menjelaskan, “Saudaraku semua terimaksih telah menemuiku, ada sesuatu yang hendakku bicarakan mengenai semua yang ada di kampung kita. Adapun peristiwa yang kita alami jangan dijadikan kebingungan buat kita. Semua terjadi atas kehendakNya. Jangan lupa bersyukur dan suka memberi jika ada lebih.” 

“Sirap, bicara apa kamu ini,” Simpai berceletuk. “Lihatlah keluar,” ujar Sirap. Dengan rasa ingin tahu, mereka berempat turun dan melihat-lihat apa yang sedang terjadi. 

Karena suasana yang begitu gelap dan pandangan mereka yang terbatas. Mereka hanya menggunakan indera peraba dan penciuman. Benar saja, penciuman mereka merasakan aroma yang tak asing sedangkan kaki mereka tersentuh oleh sebuah benda yang berbentuk daun panjang. 

Mengetahui hal itu, mereka kembali menemui Sirap. “Benar, Rap,” ucap Simpai. “Itulah yang hendak saya sampaikan kepada kalian jangan membuat keluarga kalian kebingungan dan berlari dari kebenaran. Sampaikanlah seperti yang saya katakan,” Ucap Sirap menjelaskan dengan penuh kelelahan.

Sejak malam itu, semua menjadi normal berjalan seperti biasa. Hasil pertanian di Padang Purang begitu melimpah bahkan lumbung tempat penyimpanan harus diperbesar. Karena hasil yang berlebihan itu, sebagian dari hasil panen dijual ke daerah lain. 

Tugas menjual diemban oleh Kulub Bedeng. Sejak menjadi orang yang dipercaya, Dayang Kuncit ketiban durian runtuh. Dengan kuasanya, dia bisa mengontrol suaminya. 

Apapun yang dimintai isterinya, Kulub Bedeng tidak bisa menolak. Pernah suatu ketika, Dayang Kuncit meminta dibelikan makanan enak di kota, “Bang belikan Adek..gangan pelanduk.” Tanpa ragu, sesampai di rumah, makanan terenak saat itu sudah ada di atas meja. 

Kerap kali, suaminya harus berbohong kepada mertuanya yang sudah lama terbaring. Namun begitu, Kulub Bedeng sebisa mungkin untuk tidak mengurangi keperluan warganya. Untuk itu, Kulub Bedeng lebih bekerja keras. 

Dengan ketekunannya itu, Padang Purang kini menjadi ramai. Tidak hanya sebagai pusat jual beli beras, keramahan dan kebaikan penduduk tampak jelas dengan suka membagi-bagikan beras kepada yang membutuhkan. Pesan itu selalu terngiang dari keempat orang yang dipercayai Kik Sirap.

Seiring dengan berkembangnya Padang Purang sebagai lumbung beras di Desa Jangkar Asam, para penguasa dan pembesar, seperti Tuk Medang tergelitik untuk mendatangi wilayah Padang Purang. Sebelum kedatangan Tuk Medang dan pembesar lainnya itu, kesehatan Kik Sirap bertambah buruk. Walaupun sakit, anggota masyarakat sangat menghormati dan memberikan kepercayaan sampai saat itu. Semua kebijakan yang dijalani sangat manusiawi.  

Di hari terakhir hidup di dunia, dia berpesan terutama kepada anaknya, “Anakku sepeninggalan Bapak, jagalah dan rawat suamimu, jangan suka membantah. Kulub jaga isterimu seperti engkau merawatku dan yang lainnya, jangan serakah jalani kewajibanmu seperti biasa.” Mendengar itu semua, para tamu seperti Kik Jemat, Rahi, dan Simpai tak sengaja menjatuhkan air dari matanya. 

Keesokan hari, sepeninggalan Kik Sirap. Di Padang Purang, kegiatan masyarakat berjalan seperti biasanya,  yang membedakan adalah perilaku Dayang Kuncit yang sombong dan angkuh secara terang-terangan ditampakan di muka umum. Padahal pusara bapaknya belumlah kering. 

Siang itu saat dimana dia berjalan, Dayang Kuncit menampakkan kesombongannya dengan mengenakan pakaian mewah dan perhiasan yang melekat pada kulitnya yang putih dan mulus. “Coba lihat apa yang saya kenakan,” ucap Dayang Kuncit kepada umak-umak yang sedang mengobrol di bawah tangga rumah Jemat. “Memang kalian tidak pernah dibelikan oleh suami kalian,” Dayang Kuncit semakin ketus. 

Mereka hanya terdiam tidak akan pernah membalas. Mereka masih menaruh rasa hormat kepada Kik Sirap dan Kulub Bedeng. Semua orang dianggap musuh, Tingkah laku Dayang Kuncit seperti itu acap kali menimbulkan keributan bahkan pertengkaran dengan orang-orang yang tidak sepaham dengannya. 

Semua itu dilakukan Dayang Kuncit ketika suaminya ke luar kota. Puas dengan kelakuannya siang itu, Dayang Kuncit terlihat letih dan kehausan. Untuk menghilangkan rasa letih dan haus yang mendalam, dia duduk di bawah rindangnya pohon gelam. 

Sambil mengipas-ngipas wajahnya yang kepanasan, melintas seorang bapak-bapak tua di depan Dayang Kuncit. Rupanya, bapak-bapak itu juga ingin beristirahat dekat dayang Kuncit. “Sana-sana, jangan mendekat,” sahut Dayang Kuncit yang merasa jijik. “Pergi Kau, dasar pengemis, bisamu hanya meminta belas kasih orang,” ejek Dayang Kuncit. 

“Kau, mulutmu bagai lidah dak betulang, seenaknya bicara seperti itu, balas seorang kisanak yang tak mengerti apa. Orang tua tersebut melanjutkan perjalanannya meninggalkan Dayang Kuncit yang suka menyinyir itu. Dayang Kuncit yang telah lama berteduh itu pun akhirnya tersenyum lebar setelah melihat suaminya kembali dari kota. 

Mereka pulang dangan hati yang senang terkhusus bagi Dayang Kuncit. Di dalam perjalanan, Dayang Kuncit tak kehabisan kata-kata ketika melihat suaminya membawa barang-barang dalam jumlah besar. Orang-orang yang berpapasan tak dihiraukannya, kecuali Kulub Bedeng yang senantiasa menegur sapa siapa saja yang melaluinya. 

Sesampai di rumah, ketiga kakik seperti biasa telah menunggunya sekembali dari kota. Namun hari ini, wajah mereka sangat berbeda ketika bertemu Dayang Kuncit. Saat Kulub Bedeng meletakkan semua barang yang dibawanya ke atas rumah, dia bersegera menemui ketiga kakik tersebut. 

Tentu saja, selepas dari kota, Kulub Bedeng membawa pesanan dari ketiga kakik dan warga. Namun tak sampai di situ, ketiga kakik tersebut tidak beranjak dari tempat duduk mereka. Ternyata ada sesuatu yang hendak mereka bahas tentang desas-desus kehadiran Tuk Medang dan penguasa lainnya itu ke Padang Purang. 

Di balik bilik, Dayang Kuncit sengaja menguping pembicaraan mereka. Dia khawatir jikalau apa yang diperbuatnya tadi siang diadukan kepada suaminya. Namun apa yang dikhawatirkannya tidaklah terjadi. 

“Benar, Kik, mereka akan datang ke kampung kita dalam rangka bekerja sama,”ucap Kulub Bedeng. “Namun begitu kita harus ingat pesan Kik Sirap senantiasa hormat dan sopan kepada siapa saja,” tambah Kulub Bedeng. “Kami khawatir akan sikap isterimu, Lub,” jawab Kik Simpai.

“Ada apa dengan istriku, Kik,” balas Kulub Bedeng. “Sudahlah, Lub, lupakan hari sudah semakin gelap, kami harus pulang, terimakasih telah dibawakan kebutuhan kami,” jawab Kik Simpai mengakhiri percakapan. “Ingat besok pagi kita harus panen,” Kik Jemat menambahi. 

Tiba-tiba di balik bilik, Dayang Kuncit keluar dan bertanya “Apa yang sudah kalian bicarakan? Apakah membicarakan saya?” Kami tidak membicarakanmu, Dek, kalaupun membicarakan Adek, mereka hanya mengingatkan kamu harus hati-hati, itu saja pesan ketiga kakik tadi,” jawab Kulub Bedeng. “Ya sudah, Ayo, kita makan!” sahut Dayang Kuncit.

Pagi ini, panen untuk kesekian kalinya di Padang Purang tidak dihadiri oleh Kik Sirap. Untuk itu, Kik Simpai mencoba untuk menjadi orang pertama menggantikan peran Kik Sirap. Akan tetapi saat memulai menghantarkan pesan, Dayang Kuncit pura-pura pingsan. 

“Untuk semuanya, saya mohon maaf atas peristiwa ini, Kik Simpai, Kik Jemat, Kik Rahi, saya serahkan semua pengawasan dan pelaksanaan panen kali ini kepada kalian, saya akan menyusul setelah mengantar isteri saya ke rumah,” pesan Kulub Bedeng. Acara sakral yang biasanya dilakukan setiap akan panen, kali ini berantakan disebabkan Dayang Kuncit. 

Dayang Kuncit begitu senang dan tersenyum saat dibopong suaminya sampai ke pembaringan. “Saya harus menyusul mereka, Dek,” ucap Kulub Bedeng. “Pergilah!” jawab isterinya. Saat hendak menuruni tangga, seorang paruh baya sudah ada di depan Kulub Bedeng. 

“Ada apalagi ini,” gumam Kulub Bedeng. “Ada yang bisa bantu, Pak tua?” tanya Kulub Bedeng dengan santun. “Apa benar, rumah ini kepunyaan Sirap?” tanya Pak Tua. Dengan diliputi perasaan heran, Kulub Bedeng menjawab, “Iya, benar.”  “Anda siapanya Kik Sirap,”balas Kulub Bedeng. 

Ketika hendak membalas jawaban Kulub Bedeng, dari atas rumah terdengar teriakan Dayang Kuncit, “Kamu lagi, pengemis hina, pergi sana, saya jijik melihatmu.” Mendengar teriakan isterinya itu, bertambah kagetlah Kulub Bedeng mengetahui watak isterinya itu. Dengan lembut, Kulub Bedeng meminta maaf kepada orang tua itu dan mengajak pergi menjauhi Dayang Kuncit. 

Dalam perjalanan menuju ketiga kakik itu, orang tua itu berbicara, “Kalian, suami isteri memiliki watak yang berbeda, kau begitu sabar menghadapi perilaku isterimu, saya sangat terkesan.” “Kalau saya ceritakan begitu panjang, Pak tua,” Kulub Bedeng menimpali obrolan bersama pak tua. “Anda datang darimana, Pak?” tanya Kulub Bedeng. 

Saat akan menjawab, Kik Rahi memanggil, “Lub, cepat kemari!” “Ayo Pak tua, saya kenalkan dengan ketiga kakik saya, ucap Kulub Bedeng. Di hadapan ketiga kakik, mereka mengobrol layaknya teman lama yang sudah lama tak ketemu. Pak tua yang baru kenalan itu pun tak sungkan ikut membantu mereka memanen padi.  

Di tengah kesibukan memanen padi, mata pak tua tertuju pada benda yang tertanam pada tanah yang berbentuk kawah. Keingintahuan Pak Tua begitu besar sehingga Kik Simpai dan pak tua saling bertanya jawab. “Apalagi yang bisa menghentikan pertanyaanmu, Kisanak? Semua sudah kuceritakan,” jawab Kik Simpai.” 

Pak tua mengangguk-angguk sambil mengajukan satu pertanyaan, “Kalau benar begitu, ambung yang terbang melintasi kalian itu benar-benar punya Tuk Medang,” balas Pak Tua. “Menurut Kik Sirap begitu,” jawab Kik Simpai. “Banyak orang sudah mencoba mengangkat ambung tersebut, akan tetapi ambung itu tak berpindah sedikit pun,” Kulub Bedeng menimpali mereka. 

“Kami bersyukur dengan adanya peristiwa itu sebab kami bisa menikmati hidup yang layak,” jawab Kik Jemat. “Apakah anda ingin mencobanya,” kelakar Kik Rahi. Semua tertawa. Suasana menjadi tenang kembali. Walau mereka bersanda gurau, bantuan dari pak tua pekerjaan menjadi cepat terselesaikan. 

Dengan bantuan tersebut, mereka berempat sepakat untuk memberikan sesuatu sebagai balas jasa. Dengan cepat dan sigap, Kulub Bedeng mengambil seikat karung beras untuk diberikan kepada pak tua. Ternyata saat Kulub Bedeng hendak memberikan seikat karung kepada pak tua, dari arah belakang terdengar suara Dayang Kuncit, “Tunggu dulu, apa-apaan kamu, Bang, semua susah bekerja, kamu akan bagikan kepada pengemis ini, saya tidak sudi.” 

Mendengar kata-kata yang begitu pedas dari Dayang Kuncit, membuat tembok kokoh kesabaran pak tua naik ambruk. “Selama ini, saya mencoba untuk diam, parasmu cantik, tapi mulutmu tak bisa dijaga, kamu harus tahu, semua yang diberikan adalah titipan yang Maha Kuasa, ingat itu.” “Sabar, Pak tua, maafkan isteri saya,” Kulub Bedeng mencoba menenangkan mereka berdua. 

“Pokoknya, saya tak sudi, kalau beras itu diberikan kepada pengemis,” teriak Dayang Kuncit. Dalam hal ini, Kulub Bedeng susah mengambil keputusan. Di sisi lain, dia harus mengemban pesan dari Kik Sirap untuk mengajar dan menjaga anaknya, Dayang Kuncit. 

Di sisi lain, Kulub Bedeng adalah orang yang baik dan pemurah sehingga dia menjadi orang yang hina jika tidak membantu pak tua. Banyak orang melihat kejadian memalukan itu, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena kedikdayaan Dayang Kuncit. Pak tua itu pun tersenyum atas peristiwa itu, “Sudahlah, Kulub jangan mengasihaniku! Kasihanilah perilaku isterimu itu.” 

Pak tua melangkah menuju ambung yang tertanam itu. “Mau kemana Kisanak,”tanya Simpai. “Saya akan mengambil apa yang menjadi milik saya,” jawab Pak tua. Semua yang melihat dan mendengar itu merasa heran dan terkejut, khususnya ketiga kakik itu. Mereka merasa pak tua yang mereka ajak bicara seharian itu adalah majikannya. 

Saat, pak tua sampai di depan ambung itu, dia berkata, “Ambungku, jika kau benar milikku, kembalilah bersamaku.” Dengan kuda-kuda yang mantap dan tangan sudah memegang dengan cengkraman kuat, diangkatlah ambung itu sekuat tenaga. Pak tua itu berhasil mengangkat ambung itu. 

Dengan seketika, mata air kecil yang keluar dari celah ambung berubah menjadi besar. Air itu cepat mengairi daratan Padang Purang. Orang-orang berteriak, “Ampuni kami Tuan.” Tapi teriakan itu tidaklah ada guna sebab ambung telah kembali kepada tuannya. 

Dari kejauhan tampak Dayang Kuncit berlari dan berteriak, “Perhiasanku, baju-bajuku…” Ketiga Kakik itu mencoba menahan, namun apa daya tenaga tak kuat mengejar. Mereka seketika memandang Kulub Bedeng dengan mata yang berkaca-kaca. 

“Maafkan aku Kik, maafkan isteriku Pak Tua.” Seketika itu, dia mengejar isteri kesayangan, Dayang Kuncit. Pengejaran Kulub Bedeng tentu saja tak membawa hasil sebab air yang keluar begitu deras hingga menenggelamkan kampung dan suami isteri itu. 

Begitulah asal muasal terbentuknya Danau Beras. Dari Cerita Rakyat Belitung Timur : Legenda Danau Beras tersebut, kita bisa menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hikmah itu di antaranya adalah manusia hendaknya pandai bersyukur kepada Yang Maha Pencipta dengan apa yang telah disediakan di bumi berupa hasil pertanian.

Selanjutnya adalah kita bisa memetik dari beberapa karakter tokoh, yang mana sebagai orang tua hendaknya selalu bersikap bijaksana, mengutamakan kepentingan orang banyak, sedangkan bagi keluarga hendaknya bersabar dalam menghadapi masalah dan yang terpenting adalah menjaga lisan terhadap siapa saja agar tak menyinggung perasaan orang lain. 

Terakhir, sebagai manusia yang hidup bersosial hendaknya tidak melulu pada sesuatu yang serius, namun kita bisa iringi dengan candaan sehingga hidup lebih berwarna. Demikianlah cerita yang berjudul Danau Beras, saya berharap pembaca dapat terhibur dengan apa yang saya tulis, terimakasih selamat membaca. 


   



   



 



















 




Posting Komentar untuk "Cerita Rakyat Belitung Timur : Legenda Danau Beras"