Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

cerita fabel: kera dan labu kuning bagian 1

 Kera dan Labu Kuning

cerita fabel kera dan labu kuning bagian 1

cerita fabel: kera dan labu kuning bagian 1 - Kisah yang diperankan oleh tokoh binatang begitu disukai oleh anak-anak kecil pada umumnya. Anak-anak menyukai cerita yang diperankan oleh tokoh-tokoh seperti kancil, kera, kura-kura, kelinci, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Tokoh-tokoh binatang yang disebutkan tadi menawarkan karakter cerdik, pandai, sombong, dan serakah. 

Karakter yang ditampilkan sosok binatang layaknya manusia itu sangat menghibur bagi anak-anak. Sifat yang lucu dan menyenangkan tentu saja sangat melekat pada anak-anak yang akan beranjak menemukan jati diri mereka. Dalam perubahan karakter anak, Orang tua sangat berperan mendampingi buah hati mereka. 

Salah satu bentuk yang dilakukan mereka adalah menemani sang anak belajar atau bahkan saat mereka menjelang tidur. Dalam hal pendampingan itu, orang tua dengan kemampuan bercerita yang begitu mumpuni membuat anak merasa terhibur. Apalagi peran yang dimainkan dan alur cerita yang menyenangkan membuat anak merasa lebih nyaman dan tertarik. 

Oleh karena itu, cerita yang diperankan oleh tokoh binatang menjadi terus terjaga bahkan memunculkan cerita-cerita baru. Walaupun cerita baru, peran yang ditampilkan masih menggunakan tokoh yang telah ada. Seperti dalam cerita yang akan dibicarakan ini, seekor kera dengan sifat yang tidak pernah dikenal baik. 

Sifat-sifat yang tidak baik ini banyak diceritakan dalam buku cerita anak dan tidak hanya itu pengalaman buruk terhadap kera ini dialami orang-orang dalam dunia nyata. Kera adalah binatang yang mempunyai watak nakal, licik, bahkan merusak. Apapun yang dilihatnya meninggalkan kenangan buruk bagi orang bahkan mahluk lainnya. Banyak orang tidak menyukai tabiat kera. Untuk megetahui cerita tentang tokoh kera secara menyeluruh, mari kita bersama-sama menyimak dan membaca cerita yang berjudul “Kera dan Labu Kuning.” 

Pada jaman dahulu, di sebuah desa yang asri, hidup dua orang renta sedang menjalani aktivitas sehari-hari di tengah hutan yang rimba. Hutan yang begitu rimba itu tentunya dikelilingi kehidupan yang membahayakan bagi orang tua seperti mereka. Mahluk buas seperti harimau, beruang, ular, dan binatang buas lainnya masih hidup berdampingan serta selalu mengintai dan siap menerkam di kala ada kesempatan. 

Kakek dan Nenek tentunya tidak mengingin hidup seperti ini. Namun, Mereka tidak punya pilihan sebab tuan tanah tidak menghendaki tenaga dari orang yang sudah tua. Tuan tanah beranggapan orang yang sudah tua tidak mempunyai kekuatan lagi, malah akan membuat kesusahan di kemudian hari. 

Tapi, kehidupan terus berjalan, kedua orang tua itu harus melangsungkan kehidupannya tanpa bantuan siapapun. Anak yang diharapkan bertahun-tahun tidak kunjung hadir. Walaupun begitu, mereka selalu bersyukur kepada Pencipta. 

Tak ada yang harus disesali, walau mereka tidak mempunyai sesuatu selain pakaian yang melekat menutupi kulit kering satu-satunya. Untuk berteduh dari teriknya dan dinginnya  hujan saja, mereka harus berlari dan berlindung pada ranting-ranting dan ilalang kering seadanya. Kehidupan yang keras membuat mereka kuat. Tanpa disadari dan setiap hari dilakukan, mereka telah berhasil membuka hutan yang tidak ada pemiliknya menjadi ladang tempat bercocok tanam.

Siang itu, kakek mendongakkan kepalanya ke atas langit sambil mulutnya seperti berkomat-kamit layaknya orang yang sedang berbincang dengan lawan bicara. Entah apa yang diucapkan sang kakek membuat nenek menjadi tergerak mendekatinya. “Ada apa Kek?Apakah ada yang membuatmu risau?” bisik Nenek. 

Sambil menghela nafas dan meneguk sedikit air yang dibawa nenek, kakek membalas pertanyaan nenek, “Tidak ada apa-apa,Nek, semua baik-baik saja.” “Hanya saja, Kakek berharap apa yang sudah kita lakukan membuahkan hasil,” lanjut Kakek. Dengan memandang lahan yang sudah mereka kerjakan, tampak begitu suburnya ditumbuhi tanaman buah dan sayuran. 

Dalam benak mereka tidak ada lagi kekurangan makan karena semuanya sudah berada di depan mereka. Melihat kebahagiaan yang tersirat itu, tanpa disadari air mata nenek menetes rasa haru yang mendalam. Lirikan kakek membuat nenek merasa malu. 

Untuk menutupi rasa malu itu, dengan cekatan nenek mendekati pohon singkong yang terasa sudah siap untuk diputik umbi dan daunnya. “Kek, untuk makan siang hari ini kita merebus singkong,” ucap nenek.  Ubi singkong bagi mereka merupakan makanan luar biasa sebab beras sebagai makanan pokok sangat sulit mereka dapatkan. 

Begitu sulit karena mereka harus keluar dan mendatangi desa. Untuk ke desa mereka yang sudah renta tentunya sangat menguras tenaga. Selain kesulitan itu, beras sangatlah mahal harganya. 

Untuk mendapatkan beras, mereka harus bekerja kepada tuan tanah. Dari tuan tanah tersebut, mereka akan mendapatkan beras atau pun uang. Setelah mendengar nenek, kakek bergegas mencari ranting dan mencari sumber air. 

Pada saat kakek menuju aliran sungai, kakek mendengar kegaduhan yang luar biasa. Suara teriakan binatang buas memang sudah terbiasa terdengar, namun hari itu teriakan disertai tangisan berlangsung begitu lama. Dengan perasaan yang penuh kecemasan, kakek pun segera mempercepat langkahnya untuk meninggalkan aliran  sungai itu. 

Kakek menyadari bahwa aliran sungai ini merupakan tempat binatang buas melepaskan dahaganya setelah berhasil memakan buruannya. Jika, dia berlama-lama bisa saja....membayangkan hal itu dalam benaknya, kakek bersegera menuju rumahnya. Benar saja, saat kakek berlari dan menolehkan pandangannya ke samping kanan, tampak segerombolan kera sedang terancam nyawanya. 

Karena di hadapan mereka terdapat mahluk yang bergigi tajam dan kuku yang telah menghujam di jantung pemimpin gerombolan itu. Tentu saja, dengan terbunuhnya pimpinan, sekawanan berteriak ketakutan bahkan sebagian lagi berlari meninggalkan kelompok. 

Dengan menyaksikan peristiwa itu, seluruh tubuh kakek bergemetaran, tubuh kakek tak dapat digerakkan ketika mereka saling memandang. Dalam sekejap, tubuh kakek goyah dan terjerambab ke belakang. Namun begitu, si  raja hutan tidak bergeming dari tempatnya dan sibuk menikmati santapan yang segar. 

“Apakah karena badan saya kurus tak berisi,” gumam kakek. Tanpa berpikir lagi, kakek mengambil wadah yang berisi air dan bersegera melanjutkan pelarian dari ancaman binatang buas. Sesampai di ladang, kakek seperti memberi kode kepada nenek untuk segera masuk ke dalam rumah. 

Sebab jika dia berteriak tentunya akan memancing si raja hutan untuk datang memangsa mereka. Dengan mengetahui kode yang diberikan kakek, nenek sesegera mungkin meninggalkan pekerjaannya sementara waktu. Mereka berdua masuk dan berlindung guna menyelamatkan diri. 

“Ssst,” kakek mengarahkan telunjuk jarinya ke mulut dengan maksud supaya nenek tidak mengeluarkan suara. Benar saja, sesuatu yang mengerikan datang dari arah di mana kakek berlari. Seekor binatang buas yang berjuluk si raja hutan dengan begitu mantap melangkah menuju tempat kediaman kakek dan nenek. 

Kuku-kuku jari yang menghujam tanah dan taring tajam yang tak sempat tercuci oleh makanan penutup yang terlihat jelas bercak-bercak merah dari korban yang kalah dalam perlawanan. Dia adalah harimau. 

“Aum...percuma saja kalian sembunyi, saya pasti akan menemukan kalian, Aum...” suara harimau bergelegar di segala penjuru hutan. Mendengar suara mahluk buas, ada rasa gentar dari kedua renta, yakni kakek dan nenek. 

Kekhawatiran menggelayut sampai ke ubun-ubun dan pikiran sudah menjadi kacau. Tiba-tiba, tangan nenek seketika merangkul tubuh kakek begitu kencang. Rasa takut yang begitu besar membuat jiwa kelakian kakek sedikit demi sedikit  terbangun. Kakek mencoba menenangkan hati nenek yang sedang gundah, “Tenang, Nek.” 

Kakek mencoba menggapai parang yang terselip di balik alas tidur yang terbuat dari lalang. Terbangunnya jiwa kelakian kakek tadi tidak membuat harimau memaling pandangannya pada pondok sederhana yang terbuat dari kayu dan ilalang. “Tak perlu kalian bersembunyi, keluarlah, aum...,” sahut harimau. 

Dengan parang yang tergenggam erat di tangan kanannya, sang kakek hendak menyegerakan keluar dari tempat persembunyian untuk segera melawan harimau itu. Saat jarak antara keduanya tidak terbatas oleh ruang, dari kejauhan terdengar lengkingan suara dari gerombolan binatang yang tampak terusik oleh sesuatu. Suara itu tidaklah asing di telingan kakek. 

Teriakan itu persis sama saat dia sedang berada di dekat aliran sungai. Lambat laun teriakan itu tampak jelas sedang mendekati kediaman kakek dan nenek. Gerombolan itu melesat gesit berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Rasa ingin tahu dan secuil keberanian membuat kakek merayap dan mengintip dari balik dinding lalang yang sudah mengering. 

Alangkah terkejutnya kakek ketika warna kuning dan belang hitam tepat di depan hidungnya. Namun keterkejutan itu tidak membuat harimau berpindah posisi, matanya tajam memandang kawanan hewan yang selalu mengikutinya, telinganya berdiri tegak mendengarkan gerak gerik suara dahan dan daun yang menjadi tunggangan mereka, dan kuku tajam yang siap menerkam terhunus di bumi.

“Hei...kalian benar- benar punya nyali, Aum...” “Tak terimakah kalian satu dari kawanan kalian menjadi bekal sarapanku...aum...?” “Brengsek kau harimau, satu nyawa dibalas satu nyawa,” sahut kera betina, pasangan dari pemimpin kawanan yang mati melawan harimau. “Kwkwkwkw....,” Harimau berguling-guling sambil memegang perutnya. 

Tak terima ditertawakan, kerikil batu berseleweran menukik tajam mengenai tubuh, kepala, dan mata harimau. Namun apa dikata, kerikil itu bagai kutu yang menghisap darah harimau. Harimau hanya menggaruk badannya tanda tak terjadi apa-apa. “Permainan apalagi ini, wahai mahluk lemah, hhhhh,” ujar harimau sambil tertawa. 

Dengan suara yang menggelegar dan ayunan jari-jari berkuku tajam yang begitu kuat, harimau membalas perbuatan yang dilakukan oleh sekawanan kera itu dengan membabi buta. Pertikaian kedua binatang itu tak luput dari pengamatan sang kakek. Dengan mengendap-endap serta menyibak dinding yang terbuat dari ilalang kering, kakek kembali berusaha membuat celah kembali setelah mendapat keterkejutan pertama dan dia berusaha kembali menemukan kesempatan untuk menyelamatkan diri dari binatang buas tersebut. 

Benar saja, kakek mendapatkan pertikaian dua binatang yang begitu sengit. Saat melihat mahluk kecil yang mempunyai nyali besar, kakek merenung sejenak sampai akhirnya kakek menarik nafas panjang. Nenek yang sedari tadi menggigil ketakutan tiba-tiba merasakan suasana hangat yang sudah lama tak dijumpainya. 

Palingan  tatapan mata kakek mencuatkan cahaya masa lampau kehidupan kakek dan nenek yang penuh romantik. “Kakek apakah itu Kau?” teriak nenek sambil mengulurkan tangannya berharap kakek membalas uluran tangan nenek. Hal itu mengingatkan nenek saat di masa mudanya bersama kakek....bersambung.  

 ikuti terus kelanjutan cerita fabel: kera dan labu kuning, terimakasih.

 


Posting Komentar untuk "cerita fabel: kera dan labu kuning bagian 1"