cerita fabel: kera dan labu kuning bagian 2
Kera dan Labu Kuning
cerita fabel: kera dan labu kuning bagian 2-Maryadi adalah seorang pemuda yang tampan memiliki budipekerti yang santun dan pekerja keras. Demi bertanggung jawab kepada orang tua dan dua saudari yang masih kecil, Maryadi tidak seperti anak-anak lain yang menghabiskan waktu di rumah dan bermain. Mulai dari terbitnya matahari sampai tenggelam ke ufuk barat, Maryadi habiskan di ladang dan hutan guna membantu orang tua.
Melihat perilaku anaknya yang begitu baik, orang tua begitu sayang kepada Maryadi. Kemana pun Maryadi pergi selalu dinanti kepulangannya. Segala kebutuhannya selalu dipersiapkan oleh umaknya yang sedari pagi buta sudah sibuk bergelut dengan pekatnya asap dari pembakaran ranting kayu kering.
Singkong rebus masakan umak sudah tersedia di meja untuk disantap bersama. Tak ada yang harus disesali dari orang seperti mereka yang jauh dari keberpunyaan. Apapun yang sudah tersedia merupakan kenikmatan yang harus disyukuri. Walau dengan makanan seadanya, makanan istimewa itu bisa menguatkan mereka untuk semangat bekerja mangais rejeki di ladang Tuan Sori.
Tuan Sori merupakan orang terkaya di kampung. Walau kaya, perangainya sangat tidak disukai masyarakat. Mabuk-mabukan, berjudi, dan bermain wanita merupakan hobinya. Kadang kala kekesalan hati tuan tanah itu dilampiaskan kepada penggarap tanah seperti orang tua Maryadi.
Pernah suatu ketika, Tuan Sori memukul dan mengusir pelayannya karena masalah kecil. Saat itu, pelayan tak sengaja menjatuhkan cangkir bekas arak yang diminum Tuan Sori. Kebetulan jatuhan cangkir itu menimbulkan bunyi yang keras sehingga Tuan Sori terbangun dari mabuknya yang berat.
Dengan mata yang masih begitu berat dan kesadaran yang belum terwaraskan, Tuan Sori membentak Nia yang sedari tadi sudah ketakutan. “Ampun, Tuan!” ungkap Nia dengan menelungkupkan tubuhnya meraih kaki majikannya dengan maksud tuannya bisa memaafkan kesalahannya.
“Saya tidak sengaja, Tuan,” sambil tersedu-sedu. Kesadaran yang belum kembali, Tuan Sori secara reflek menendang Nia dan berujar dengan mulut yang berbau minuman, “Tinggalkan rumah saya.” Dengan terus memelas untuk tidak diusir, Nia tidak menyadari bahwa wajah Tuan Sori telah berada di depan wajah Nia.
“Cantik juga rupamu, pelayanku,” bisik Tuan Sori. Mendengar bisikan itu, dalam benak Nia bercampur aduk. Ada rasa senang bahwa dia tidak akan diusir dan dibenak lainnya ada sesuatu yang mengerikan menimpa diri Nia.
Perasaan campur aduk itu, akhirnya menampakan kejelasan dengan tangan yang begitu kuat mendekap badan kurus tak bertenaga. Perasaan kaget bercampur takut diiringi dengan teriakan melengking seantero jagad, “Tolong lepaskan...Tuan, ampuni saya...saya tidak sengaja.” Tuan Sori yang mempunyai tenaga begitu besar bukan menjadi hambatan Nia yang sedari tadi memberontak.
Kegaduhan itu menjadi gundah bagi yang mendengarnya. Maryadi yang tak tahan lagi mendengarnya, dia mencoba memberanikan diri untuk mendekati sumber suara itu. Tak pelak saat membuka pintu, Tuan Sori terkejut, tubuhnya yang masih gontai karena mabuk minuman keras terdorong mengenai lemari jati yang di atasnya terdapat benda-benda berukuran besar yang hendak jatuh.
Dengan sigap, Maryadi berlari hingga jatuh demi menyelamatkan tuannya. Akhirnya tubuh Maryadi benar-benar terkena jatuhan benda-benda itu, tubuhnya terluka. Tuan Sori mengurungi niatnya dan menyaksikan pelayan-pelayan itu dengan acuh lalu meninggalkannya.
Nia dengan menangis sesenggukan berusaha mengangkat benda yang menimpa badan Maryadi, namun apa daya tak sedikitpun benda itu bergeser. Melihat Nia kesulitan, Maryadi dengan tenaga yang tersisa berusaha menggeser sedikit demi sedikit badannya dari benda tersebut. Dengan dibantu Nia, benda itupun berhasil disingkirkan dari tubuh Maryadi yang kecil.
Nia menyambut tangan Maryadi dengan penuh kasih sayang. Peristiwa itu merupakan awal pertemuan kakek dan nenek yang penuh romantis. Kenangan masa muda nenek itu sirna seketika saat tangan kekasihnya itu melepas dengan keras dari genggaman nenek.
Dengan sekelebat gerakan, kakek keluar dari persembunyian. Dengan dorongan tenaga yang sedikit terpaksa, kakek berhasil mengayunkan parangnya pada ekor harimau itu. Harimau yang sedari tadi terdesak oleh kawanan kera tidak menyadari kedatangan tubuh kering yang sudah lama mengawasinya.
“Mati Kau...., harimau sialan,” Kakek berteriak sambil mengayun dan menggulingkan badannya di atas tanah yang berkerikil tajam. Tak pelak, harimau menjerit kesakitan, melihat ekornya terputus. Darah mengalir deras, harimau kelimpungan, dia jatuh berguling-guling sambil menahan rasa sakit.
“Awas Kau manusia tua,” harimau berteriak sembari menahan sakit. Rasa sakit yang dibuat Kakek Maryadi membuat malu hewan yang dijuluki raja rimba. Tanpa berbasa-basi harimau meninggalkan tempat kegaduhan dengan membawa kecewa yang mendalam.
Suasana menjadi riuh, memecah keseriusan yang sedari tercipta. Wajah-wajah yang tegang dibasuh tawa dan senyum. Nek Nia yang sedari tadi sembunyi keluar dari persembunyian. Dia mendapatkan suaminya terduduk lemas tak berdaya.
Nenek begitu bahagia dan merasa kagum melihat seorang yang tua renta berhasil mengusir si raja hutan. Nenek mendekat dan menggenggam tangan kakek yang sedari tadi bergemetar. “Semua sudah berakhir Kek, Kakek berhasil mengusir mahluk yang paling membahayakan,” bisik Nenek.
“Lihat mereka, Kek! Tidak ada lagi yang ditakuti, mereka tampak begitu senang,” tambah Nenek. Menyaksikan itu sembuat muncul rasa tidak percaya bahwa peristiwa yang mencekam sedari menyelimuti membuat sosok kakek menjadi pusat perhatian. Teriakan kawanan kera, “Kakek, Kakek.....” mengisyaratkan sosok pahlawan yang telah memperjuangkan kerinduan akan kemenangan atas mahluk yang begitu ditakuti.
Wajah sumeringah kakek menjadikan kejadian melelahkan itu lenyap seketika. Nenek dan Kakek kembali memasuki gubuk kecil sembari meninggalkan kawanan kera yang sedari lama berjuang bersama melawan musuh yang selalu merong-rong hidup. Terlepas dari kejadian itu semua, tercium aroma yang tak asing dari penciuman mereka.
Peristiwa yang menyita waktu begitu lama itu tidak menyadarkan kedua pasangan tua tersebut bahwa bara api yang telah dipersiapkan menanak singkong tersebut telah menjadi abu. “Kakek mencium sesuatu kah?” Saat nenek melihat sekitar gubuknya, nenek melihat kepulan asap putih dari arang kayu yang sudah mengabu.
Tampak jelas di mata, panci yang sebelumnya masih terlihat keperakan berubah menghitam pekat. Nenek dengan sigap mendekati dan mengangkat sumber bau itu. Mata nenek yang tajam melirik-lirik ke dalam panci dan dengan tangan yang gesit memilah-milah singkong panas dan tidak berbentuk lagi.
“Kek, betapa bersyukurnya kita hari ini, selain terbebas dari peristiwa mencekam, kita bisa tidur nyenyak tanpa rasa lapar,” ucap nenek dengan perasaan gembira. Melihat sepiring ubi rebus yang agak gelap, “Syukurlah Nek,” sahut Kakek.
Siang berganti malam, suara hewan bersautan menambah ketenangan istirahat kakek dan nenek. Di balik kedamaian malam itu, tangan Sang Maha Kuasa menggerakan kemuliaanNya pada sebuah lahan yang belum terolah sedemikian rupa. Lahan yang dulunya banyak ditumbuhi ilalang terbuka menjadi lahan siap tanam.
Biji-bijian yang berasal dari sisa-sisa hewan pengerat dan berbagai jenis burung yang tak sengaja menjatuhkan di lahan kakek dan nenek perlahan-lahan secara senyap bergerak dan tumbuh menjalar di atas tanah pengharapan kakek dan nenek. Keajaiban itu terus berlangsung sampai pagi menjelang. bersambung....cerita fabel: kera dan labu kuning bagian 2
Posting Komentar untuk "cerita fabel: kera dan labu kuning bagian 2"